2018, MK ‘Cetak’ 10 Landmark Decisions
Utama

2018, MK ‘Cetak’ 10 Landmark Decisions

Mulai dari verifikasi parpol lama dan baru, larangan pengurus parpol menjadi anggota DPD, perjanjian internasional harus melibatkan DPR, hingga perintah pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan bagi perempuan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Namun, MK berpendapat aturan yang mewajibkan pengguna jasa jalan tol untuk membayar dengan menggunakan uang elektronik (e-money) merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jalan tol agar lebih mudah dan cepat serta tidak mengantri terlalu lama di gerbang tol guna mengurangi kemacetan.   

 

  1. MA Wajib Tunda Uji Materi Jika Ada Pengujian UU Di MK

Putusan MK No. 93/PUU-XV/2017, MK mengabulkan uji materi Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK terkait penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, Mahkamah Agung (MA) harus menunda pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU jika ada proses uji materi UU di MK hingga ada putusan MK. (Baca Juga: MA Tunda Uji Materi Jika Ada Proses Pengujian UU)

 

  1. Advokat Boleh Tangani Sengketa Pajak Tanpa Syarat

Dalam putusan MK No. 63/PUU-XV/2017, MK mengabulkan uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terkait sertifikasi bagi kuasa hukum (advokat) yang syaratnya diatur Menteri Keuangan untuk membela kliennya. Intinya, putusan MK ini menegaskan kuasa hukum wajib pajak tidak dapat dibatasi memberi bantuan dan bertindak sebagai kuasa wajib pajak tanpa harus memenuhi syarat dan hak-kewajiban yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan. Baca Juga: Kini, Advokat Boleh Tangani Sengketa Pajak Tanpa Syarat

 

  1. Anggota KPUD Harus 5 Orang

Dalam Putusan MK No. 38/PUU-XVI/2018, MK mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 52 ayat (1), Pasal 468 ayat (2). Dalam pengujian pasal-pasal itu, MK memutuskan bahwa jumlah anggota atau komisioner KPU kabupaten/kota (KPUD) diubah dari 3 orang menjadi 5 orang orang dan frasa “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu diubah menjadi “hari kerja” dalam proses pemeriksaan hingga keputusan di Bawaslu. (Baca Juga: Alasan MK Putuskan Komisioner KPUD Harus 5 Orang)

 

  1. MK Hapus Panggil Paksa dan Wewenang MKD

Melalui putusan MK No. XVI/PUU-XVI/2018, MK menghapus Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 122 huruf l UU No.  2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam putusan ini, MK menghapus kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa terhadap warga negara melalui bantuan kepolisian; menghapus kewenangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) melakukan langkah hukum terhadap masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR. Hal ini dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ini tidak diperlukan persetujuan MKD, tetapi tetap dengan persetujuan Presiden. Baca Juga: MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD

 

  1. MK Larang Pengurus Parpol Rangkap Anggota DPD

Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 mengenai uji materi Pasal 182 huruf I UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota DPD yang dimohonkan Muhammad Hafidz. Dalam putusan ini, Pasal 182 huruf I UU Pemilu mengenai syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota DPD) ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat bahwa keanggotaan DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik (parpol) mulai Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya.

 

Sebenarnya sikap MK dalam putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa aturan pencalonan anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Untuk kondisi saat ini terdapat anggota parpol yang juga mengisi jabatan sebagai anggota DPD, maka MK menyatakan keanggotaannya tetap konstitusional. Sebab, putusan MK berlaku prospektif atau ke depan dan tidak boleh berlaku surut (retroaktif).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait