3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril
Utama

3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril

Perbaikan tersebut dilakukan mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dalam Pasal 316 KUHP juga mengatur jelas bahwa penghinaan dapat diproses hanya berdasarkan aduan, dan hanya dapat dilakukan terhadap orang, bukan badan hukum. “UU ITE gagal menjelaskan hal ini, pasal penghinaan justru dipakai untuk menyerang korban yang mengkritik institusi yang harusnya bisa dikritik,” jelas Dio.

 

(Baca: Hikmah Kasus Baiq Nuril, Momen Tepat Revisi UU ITE)

 

Lalu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA, dia menganggap pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.

 

Justru, praktiknya menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah bahkan lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pidana penghinaan terhadap Presiden. Duplikasi pengaturan dalam UU ITE juga menjadi masalah, yaitu Pasal 28 ayat (1) dengan UU Perlindungan Konsumen, Pasal 29 ayat (1) dengan Pemerasan dalam KUHP, dan pasal lainnya.

 

Catatan kedua, pembaruan KUHAP juga dianggap mutlak diperlukan. Dio menilai kasus Nuril menunjukkan masalah hukum acara pidana seperti penahanan dalam proses penyidikan. Seharusnya, penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, termasuk alasan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

 

“Dengan begitu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal yang wajib dilakukan. Sayangnya dengan kewenangan sebesar ini, kontrol dan pengawasan terhadap penyidik absen dalam KUHAP. Penahanan harusnya dilakukan dengan arahan Penuntut Umum dan Izin dari Hakim, hal ini sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2005, kewenangan upaya paksa khususnya penahanan harus dilakukan dengan syarat yang ketat dan mekanisme kontrol dan pengawasan yang juga kuat,” jelasnya.

 

Kemudian, ketentuan penggunaan alat bukti elektronik. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR Baiq Nuril telah dijelaskan bahwa alat bukti elektornik yang digunakan di persidangan dipertanyakan karena aslinya tidak dapat ditemukan dan divalidasi, Majelis Hakim PN secara jelas menjelaskan bahwa dakwaan tidak dapat diterapkan.

 

Putusan Kasasi No. 574K/Pid.Sus/ 2018 dari Mahkamah Agung malah lantas menggunakan kembali alat bukti yang tidak dapat divalidasi tersebut untuk menguraikan fakta hukum versi Putusan Kasasi. Putusan Kasasi bahkan tidak memberikan arugumen sama sekali terkait dengan alasan menggunakan kembali alat bukti yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait