3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril
Utama

3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril

Perbaikan tersebut dilakukan mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Putusan Kasasi justru malah keluar dari kewenangannya sebagai pemeriksa judex juris yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk memeriksa fakta, apalagi menyusun sendiri fakta hukum yang berbeda dengan judex factie. Putusan Kasasi malah menguraikan fakta baru yang berbeda dari yang dimuat dalam Putusan Pengadilan Neger Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR.

 

“Berkaca pada kasus ini, maka pembaruan KUHAP harus dilakukan, paling tidak, pertama terkait kewenangan upaya paksa khususnya penahanan oleh aparat penegak hukum seperti penyidik kepolisian, syarat dan mekanisme kontrol dan pengawasan harus diperketat. Kedua untuk mengatur kewajiban validasi alat bukti dalam penggunaan alat bukti dalam persidangan. Dan ketiga, KUHAP harus tegas meletakkan kembali fungsi Mahkamah Agung dalam sistem peradilan pidana, bahwa kewenangan MA lewat pemeriksaan kasasi adalah memeriksa penerapan hukum (judex jurist) dalam suatu perkara, bukan malah tanpa dasar yang jelas mengganti fakta hukum (judex factie),” papar Dio.

 

Catatan ketiga, perlindungan perempuan yang berhadapan dengan hukum masih menjadi masalah dalam sistem peradilan pidana. MaPPI-FHUI dan ICJR berpendapat kasus Baiq Nuril seharusnya tidak perlu sampai ke proses penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena tujuan pemidanaan kita masihlah berorientasi penghukuman dan tidak sensitif dan berperspektif kepada perlindungan korban, khususnya korban kekerasan sesksual.

 

Kasus Baiq Nuril bukanlah satu-satunya kasus dimana korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana dan dihukum. Menurut catatan MaPPI-FHUI, masih ada beberapa kasus lain, dimana korban yang seharusnya dilindungi oleh negara justru malah menjadi terpidana dalam kasus lainnya, semata-semata karena perbuatannya memenuhi unsur kesalahan di dalam suatu undang-undang.

 

Misalnya WA di Muara Bulian dan BL di Jakarta Selatan korban perkosaan yang divonis bersalah pada tingkat PN karena dituduh melakukan pengguguran kandungan padahal merupakan korban perkosaan, Anindya Joediono, yang juga korban pelecehan seksual juga dijerat pidana UU ITE.

 

Dalam Riset MaPPI FHUI ditemukan bahwa tak jarang dalam kasus-kasus perempuan sebagai korban Aparat Penegak hukum justru mensematkan stigma dan stereotip negatif pada korban kekerasan seksual. Aparat Penegak Hukum dalam sistem peradilan pidana harusnya mampu melihat suatu kasus yang melibatkan perempuan secara lebih luas, bahwa kerentanan perempuan yang erat kaitannya dengan adanya relasi kuasa dalam masyarakat sering mengakibatkan perempuan yang dalam hal pelaku tindak pidana justru merupakan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara.

 

Hal ini pun sebenarnya telah dibakukan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017, seharusnya nilai-nilai dalam Perma tersebut juga dapat dijalankan oleh semua aparat penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait