7 Poin Penting Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja
Utama

7 Poin Penting Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja

Secara prinsip dan konsep pengaturan analisis dampak lingkungan (Amdal) tidak berubah, tapi disempurnakan dalam peraturan pelaksana sesuai tujuan UU Cipta Kerja yang memberi kemudahan untuk mendapatkan persetujuan lingkungan. Amdal bersifat wajib hanya untuk dokumen lingkungan hidup yang berisiko tinggi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Untuk dokumen risiko menengah hanya perlu UKL-UPL dan persetujuan lingkungan yang diterbitkan bernama Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH). Dokumen berisiko rendah hanya perlu mengurus nomor induk berusaha (NIB). Semua persyaratan itu akan digunakan sebagai syarat penerbitan perizinan berusaha.

“Setelah terbit perizinan berusaha, pemerintah melakukan pengawasan dan jika ada pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif. Penegakan hukum pidana dilakukan sebagai langkah terakhir (ultimum remidium, red),” ujarnya.

Partner Soemadipradja & Taher, Ardian Deny Sidharta, mengatakan ada perubahan dfalam Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 melalui UU Cipta Kerja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengenai penerapan asas strict liability, dimana tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan, tetapi cukup membuat potensi atau ancaman kerusakan lingkungan tersebut terjadi, maka dapat dijadikan dasar (majelis hakim, red) untuk memutuskan.  

Tapi, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 menjadi setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

“Frasa ‘tanpa pembuktian unsur kesalahan’ dihapus. Dalam naskah akademik (RUU Cipta Kerja, red) disebut ini dalam rangka memberi kepastian hukum,” ujar Ardian.

Ardian mengingatkan sedikitnya 5 hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembuktian strict liability. Pertama, penggugat tetap harus membuktikan adanya unsur melawan hukum. Kedua, penanggung jawab usaha harus lebih hati-hati dalam memahami pengertian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Ketiga, dalam penentuan besarnya kerugian atas suatu pencemaran/kerusakan lingkungan, dalam beberapa kasus di dasarkan pada Permen LHK No.7 Tahun 2014. Keempat, dalam memutus perkara lingkungan, hakim berpegang pada Keputusan Ketua MA No.36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang tetap membuka kemungkinan penemuan hukum. Kelima, berdasarkan Pasal 501 PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PPLH bahwa gugatan perdata oleh pemerintah dapat timbul dari rekomendasi hasil pengawasan.

Tags:

Berita Terkait