Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak
Kolom

Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak

Tidak dimasukkannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan.

Bacaan 2 Menit

 

Dari dua ketentuan di atas, Penulis berpendapat bahwa KUH Perdata lebih tegas mengatur mengenai akibat keadaan memaksa dimana KUH Perdata memberikan perlindungan kepada para pihak dengan membebaskan pihak dari pembayaran kompensasi ganti rugi bila halangan berprestasi tersebut diakibatkan oleh keadaan memaksa atau keadaan yang tidak terduga. Sayangnya, KUH Perdata tidak mengatur mengenai kapan suatu keadaan dikatakan sebagai keadaan memaksa ataupun keadaan tidak terduga.

 

Force Majeure atau Keadaan Memaksa dalam Jurisprudensi

Sedikit putusan pengadilan Indonesia yang memutus suatu keadaan dianggap sebagai keadaan memaksa. Mengutip dari buku yang diterbitkan oleh National Legal Reform Program, tercatat putusan Mahkamah Agung No 409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dimana Penggugat Rudy Suardana menuntut ganti rugi kepada Tergugat Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim akibat tindakan Tergugat yang dianggap telah lalai menyerahkan barang kiriman Penggugat. Tergugat mendalilkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa karena kapal yang mengangkut barang tersebut tenggelam. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memutus Tergugat melakukan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada Penggugat akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat lain bahwa tenggelamnya kapal tersebut merupakan akibat dari ombak besar dan tidak ditemukan unsur kelalaian. Kapal tersebut juga telah memperoleh izin laik laut dan  tidak terbukti ada kelebihan muatan sehingga Mahkamah Agung berpandangan bahwa hal tersebut merupakan keadaan yang tidak dapat dicegah oleh siapapun dan memutus tidak mengabulkan permintaan ganti rugi Penggugat.

 

Beberapa contoh kasus terkait dengan force majeure yang menarik

a.    Kasus antara Syahrini (Penyanyi) dengan promotor acara di Bali.

 

Dalam kasus ini, Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya untuk menyanyi. Syahrini mendalilkan hal itu sebagai force majeure dengan alasan ia harus menemani Ayahnya yang sedang sakit berjuang melawan maut di Rumah Sakit. Menurut pemberitaan beberapa media, pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya hal tersebut tidak tercantum dalam klausul force majeure kontrak yang telah mereka sepakati. Kedua belah pihak melalui kuasa hukumnya masing-masing saling beradu argumen mengenai apakah alasan sakitnya Ayah Syahrini dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure. Kasus ini terus bergulir dan akhirnya berujung di Pengadilan.

 

Kasus ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari kasus ini jauh dari kata sederhana. Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan bila Syahrini melaksanakan prestasinya. Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain. Belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang.

 

Terlepas dari pro dan kontra terhadap kasus tersebut, Penulis mencatat beberapa hal: Pertama, Penulis berpendapat bahwa tidak dimasukannya kejadian tersebut (alasan sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini) dalam klausul force majeure kontrak dengan promotor tidak mengakibatkan hal tersebut otomatis sebagai bukan peristiwa force majeure atau keadaan memaksa karena pada prinsipnya hukum memberikan perlindungan standar terhadap para pihak yang tidak dapat berprestasi karena suatu keadaan memaksa. Ditambah dengan asas umum dalam hukum bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

 

Kedua, dalam menentukan apakah tindakan Syahrini yang batal menyanyi akibat sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini tersebut merupakan suatu force majeure atau keadaan memaksa atau bukan, hakim harus mempertimbangkan unsur keadilan kepada kedua belah pihak dan juga unsur rasa kemanusiaan. Jika dilihat dari sudut pandang meta yuridis atau kemanusiaan tentu kita dengan mudah mengatakan bahwa alasan Syahrini batal bernyanyi karena menemani Ayahnya yang sakit menghadapi maut tersebut adalah mutlak merupakan force majeure atau keadaan memaksa meskipun hal tersebut tidak di atur dalam kontrak. Akan tetapi dalam kacamata hukum, hal tersebut tentunya masih menjadi perdebatan. Hal ini bukan berarti secara hukum tindakan Syahrini mangkir dari kewajibannya menyanyi akibat Ayahnya yang kritis tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure atau keadaan memaksa sebab Syahrini pasti tidak pernah berharap dan menduga Ayahnya akan kritis dan berujung kepada kematian pada awal penandatanganan kontrak tersebut. Sangat ironis jika Syahrini tetap dituntut melaksanakan kewajibannya untuk bernyanyi dengan melihat kondisi Ayahnya yang kritis berjuang melawan maut. Perlu diingat bahwa hukum itu bukan hanya sesuatu yang tertulis saja. Tentunya, semua ini masih butuh pengujian lebih lanjut dalam persidangan dan akan pada akhirnya akan berujung kepada subjektifitas penilaian hakim.

 

Jika tindakan Syahrini dianggap sebagai force majeure atau keadaan memaksa oleh hakim maka Syahrini dianggap tidak melakukan wanprestasi dan oleh karenanya tidak ada ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Syahrini. Dalam hal ini, Syahrini hanya berkewajiban mengembalikan honor yang telah dia terima tanpa berkewajiban mengganti semua kerugian yang diderita pihak promotor. Di sisi lain, Penulis juga memahami bahwa sangat beralasan bagi pihak promotor menganggap tindakan Syahrini tersebut sebagai perbuatan wanprestasi karena efek kerugian yang timbul akibat tindakan Syahrini tersebut dan potensi gugatan terhadap kontrak-kontrak terkait yang telah dibuat pihak promotor sehubungan dengan acara tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: