Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak
Kolom

Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak

Tidak dimasukkannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan.

Bacaan 2 Menit

 

Penting untuk dicatat bahwa dalam hukum Indonesia, ganti rugi itu bukan hanya merupakan ganti rugi terhadap kerugian nyata yang benar-benar timbul akibat wanprestasi tersebut saja (reliance loss) akan tetapi dapat juga berupa ganti rugi terhadap keuntungan yang diharapkan (expectation loss). Inilah konsekuensi yang timbul jika perbuatan Syahrini dianggap sebagai perbuatan wanprestasi. Catatan Penulis tidak berhenti sampai disitu, seandainya batal menyanyinya Syahrini akibat alasan harus menemani Ayahnya yang sedang sakit melawan maut dianggap sebagai force majeure atau keadaan memaksa oleh hakim maka akan timbul pertanyaan juga apakah promotor tersebut dapat menggunakan dalil yang sama (force majeure) untuk menghindar dari ganti rugi terhadap kontrak-kontrak lain yang telah dibuatnya sehubungan dengan acara tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat karena promotor tersebut juga kemungkinan besar mendapat potensi gugatan dari kontrak-kontrak lain yang terkait.

 

Wajib dipahami bahwa hal tersebut merupakan satu kesatuan mata rantai akan tetapi secara hukum, jika tindakan Syahrini dianggap sebagai sebuah force majeure atau keadaan memaksa maka tidak mudah bagi promotor untuk dapat secara merta menggunakan dalil tersebut sebagai alasan menghindar dari ganti rugi atas kontrak-kontrak terkait promotor dengan pihak lain walaupun hal tersebut muncul bukan akibat kesalahan promotor karena pihak ketiga tidak memiliki hubungan hukum dengan Syahrini dan mungkin tidak mau tahu dengan alasan tersebut.

 

Mencermati hal-hal tersebut diatas, mungkin terlintas dalam benak anda pertanyaan apakah merupakan suatu keadilan membebankan semua resiko kerugian kepada pihak promotor? Memang sulit berbicara mengenai keadilan dalam kasus ini tetapi Penulis berpendapat bahwa akan lebih tidak adil bila resiko tersebut dibebankan kepada pihak yang lemah dengan catatan bahwa memang kelalaian tersebut bukan merupakan itikad buruk. Hakim dituntut  melihat secara luas interpretasi mengenai force majeure atau keadaan memaksa saja dan menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

 

b.    Kasus Karaha Bodas vs Pertamina (Geothermal).

 

Dalam kasus ini Pertamina dianggap telah melakukan wanprestasi dan dihukum membayar ganti rugi. Argumen Pertamina bahwa Pertamina bukan tidak ingin melaksanakan kewajiban atau prestasinya dalam Proyek tersebut melainkan diakibatkan oleh Keputusan Presiden yang menangguhkan Proyek tersebut akibat krisis ekonomi (Keppres No. 39/1997 dan Keppres No. 5/1998) tidak diterima oleh Majelis Arbiter Arbitrase Jeneva, Swiss karena hal tersebut dianggap bukan sebagai force majeure.

 

Hal ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Terlepas dari segala argumen dalam kasus tersebut, pendapat pribadi Penulis jelas mengganggap hal tersebut merupakan suatu keadaan memaksa menurut hukum Indonesia karena Pertamina tidak dapat melaksanakan kewajibannya akibat peraturan yang dikeluarkan Pemerintah saat itu dan tidak mungkin bagi Pertamina untuk melanggar Keppres tersebut.

 

c.    Kejadian Macet Total yang terjadi di Pelabuhan Merak Februari 2011.

 

Seperti kita ketahui bahwa kemacetan itu berlangsung sampai tiga hari. Apakah hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure atau keadaan memaksa dengan logika tidak dimasukkan dalam klausul kontrak? Mungkinkah terlintas oleh para pihak yang berkontrak untuk memasukkan klausa kemacetan dalam kontrak mereka dimana pada kejadian normal kemacetan tersebut tidak pernah diperkirakan akan separah itu? Haruskah pengangkut menanggung semua resiko ganti rugi padahal mereka juga telah merugi akibat kemacetan tersebut. Apakah hakim atau kita akan menutup mata terhadap ketidakadilan dan memegang teguh prinsip kepastian hukum. Disinilah kunci pentingnya hukum melindungi para pihak terhadap hal-hal yang tidak dicakup oleh perjanjian.

 

Terlepas dari tujuan kepastian hukum, Penulis berpendapat bahwa hukum juga harus memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan dan kepatutan yang tumbuh dalam masyarakat. Asas kebebasan berkontrak memang diakui oleh hukum akan tetapi tidak berarti dapat mengesampingkan perlindungan standar yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Begitu pula dengan tidak dimasukannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak. Hal tersebut tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan. Penetapan force majeure atau keadaan memaksa harus dilihat secara kasus per kasus sehingga tidak dapat dibatasi oleh apa yang tertera dalam klausul perjanjian saja. Ditambah dengan asas umum dalam hukum bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu hal yang tidak terduga merupakan salah satu unsur keadaan memaksa maka seharusnya secara logika argumen yang menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa hanyalah terbatas dari apa yang telah ditentukan dalam perjanjian menjadi gugur.

Tags: