Berprestasi dan Wanprestasi (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Kolom

Berprestasi dan Wanprestasi (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari makalah tentang “somasi“ yang telah dimuat dalam hukumonline.

Bacaan 2 Menit

 

Kalau begitu semakin banyak ciri-ciri yang disebutkan, maka bendanya makin tertentu? Sudah dengan sendirinya begitu, sekalipun belum tentu dengan penyebutan  ciri-ciri tertentu, suatu benda telah menjadi “benda tertentu”, sebagai yang nanti dibawah kita rumuskan. Semakin longgar penyebutan ciri obyek perjanjian, semakin besar ruang gerak debitur untuk memilih barang yang harus diserahkan olehnya.

 

Permasalahannya adalah, benda yang disebutkan menurut jenisnya, kualitasnya bisa berbeda-beda, dari yang terbaik sampai yang kurang baik, sekalipun semua memang dari jenis yang telah disepakati. Misalkan “beras Cianjur “, ada nuansa kualitas beras Cianjur dari yang bagus sekali, bijinya panjang-panjang dan putih sekali, sampai ada yang kurang sedikit, memang juga putih tetapi bijinya ada yang patah-patah, dan ada yang kualitasnya di bawahnya lagi, dan selanjutnya.

 

Lalu kreditur boleh berharap mendapat benda dengan kualitas yang mana? Kreditur mestinya berharap untuk mendapatkan benda jenis itu dari kualitas yang terbaik, sedang debitur ada kemungkinan, kalau boleh, akan memberikan barang bukan dari jenis yang terbaik, karena tentunya harganya lebih murah, sehingga ia bisa berharap mendapat keuntungan yang lebih banyak.

 

Permasalahannya, apakah dalam peristiwa seperti itu kreditur berhak untuk menuntut barang dari kualitas yang terbaik? dengan konsekuensinya, kreditur berhak menolak penyerahan barang dari kualitas yang dibawah dari yang terbaik? Sebaliknya, apakah debitur berhak tetap membenarkan dirinya untuk menyerahkan barang baik, tetapi bukan dari kualitas yang terbaik? Pertanyaan selanjutnya,  dengan penyerahan benda dengan kualitas seperti apa -- dari jenis yang disepakati -- debitur bisa dikatakan telah memenuhi kewajiban perikatannya? Sudah bisa diduga, hal itu bisa menimbulkan banyak sengketa.

 

(bersambung)

 

-------

*) Penulis adalah pengamat hukum. Tinggal di Purwokerto.

 

 

 

Catatan

 

(1). Pasal 1 Faillissement Verodening.

(2). Membayar dengan giro bilyet kosong, bukan merupakan pembayaran yang sah, dengan akibatnya debitur wanprestasi, demikian intisari kpts. M.A. No. 63 K/Pdt/1987, ttgl. 15 Agustus 1988, dimuat YMARI, 1991 hal. 39.

(3). Berdasarkan ketentuan B.W., pada asasnya semua pembayaran adalah tunai, kecuali telah disepakati lain oleh para pihak atau undang-undang menentukan lain. Didalam B.W. Belanda, melalui S. 1936 : 202, telah ditambahkan Bagian Keenam pada Bab Kelima Buku III B.W. dengan judul “Tentang jual beli dengan cicilan“.

(4). J. Satrio, Hukum Perikatan, Tentang Hapusnya Perikatan, Buku I, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996, h. 9-10.

(5). “Betaling,  welke term niet met het feit van geldtoetelling mag worden verward, is een rechtsbegrip, welke voor zintuigelijke waarneming, dus ook voor rechtsgeldige constatering door een Notaris, niet vetbaar is “, HgH Batavia 26 Juli 1928, dimuat dalam T. 131 : 282.

(6). C. Asser – J.H. Beekhuis, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Zakenrecht, Algemeen Deel, hal. 76.

(7). R.v.J. Surabaya 11 Januari 1924, dalam T. 123 : 484.

Tags: