Dampak MLA Indonesia-Swiss Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Lintas Negara
Berita

Dampak MLA Indonesia-Swiss Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Lintas Negara

Swiss dianggap sebagai salah satu negara pusat keuangan global. MLA memudahkan pelacakan aliran dana hasil kejahatan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perjanjian bantuan hukum atau mutual legal assistance (MLA) antara pemerintah dengan Swiss telah ditandatangani pada Senin (4/2/2019). Perjanjian ini menjadi pintu masuk bagi kedua negara dalam memberantas kejahatan korupsi dan keuangan. Tidak dipungkiri, selama ini penegak hukum Indonesia sering kesulitan melacak hasil tindak kejahatan tersebut di negara-negara yang memiliki kerahasiaan data keuangan tinggi seperti Swiss.

 

Sehingga, kehadiran perjanjian ini mendapat respon positif dari lembaga penegak hukum seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga independen yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang ini merasa terbantu dalam memperoleh informasi keuangan warga negara Indonesia yang tersangkut permasalahan hukum tindak pidana pencucian uang.

 

“Kami merasakan kehadiran MLA ini akan berdampak positif. Sehingga, kami bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi melalui jalur antara inteligen keuangan,” jelas Ketua PPATK, Ki Agus Ahmad Badaruddin kepada hukumonline, Kamis (7/2/2019).

 

Pernyataan Ki Agus sejalan dengan isi perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini. MLA tersebut mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Kemudian, perjanjian MLA ini juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan atau tax fraud.Sehingga, keberadaan perjanjian ini penting sebagai upaya kerja sama hukum antar kedua negara. Mulai di sektor pemberantasan korupsi hingga pengembalian aset hasil tindak pidana atau asset recovery.

 

(Baca Juga: Tindak Pidana Perpajakan Bisa Jadi Pintu Masuk Pengujian MLA)

 

Sebelumnya, perjanjian MLA tersebut berlangsung atas usulan Indonesia menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian. Sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. Perjanjian MLA Indonesia-Swiss merupakan kerjasama hukum masalah pidana yang ke-10 diteken Indonesia bersama negara lainnya.

 

Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua PPATK, Dian Ediana Rae menjelaskan MLA perlu dilakukan untuk memberi kesepahaman antara kedua negara atau yuridiksi dalam pemberlakuan hukum tindak kejahatan. Menurutnya, tanpa MLA penyelidikan kejahatan khususnya TPPU lintas negara kian sulit diusut oleh penegak hukum.

 

“Terkadang ada kasus TPPU yang di luar negeri merupakan tindak pidana tetapi di Indonesia bukan suatu tindak pidana atau sebaliknya sehingga tidak menganut prinsip double criminality (kriminalitas ganda),” kata Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, Oktober silam kepada hukumonline di Cimanggis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait