Hentikan Perampasan Tanah Adat, LBH Papua Desak 4 Aturan Ini Ditegakkan
Utama

Hentikan Perampasan Tanah Adat, LBH Papua Desak 4 Aturan Ini Ditegakkan

Pasal 18B UUD Tahun 1945, Pasal 385 KUHP, Pasal 3 dan Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Pasal 43 UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Instagram Live Hukumonline bertema 'Perampasan Tanah Masyarakat Adat untuk Kepentingan Investasi di Papua', Rabu (12/1/2022). Foto: ADY
Instagram Live Hukumonline bertema 'Perampasan Tanah Masyarakat Adat untuk Kepentingan Investasi di Papua', Rabu (12/1/2022). Foto: ADY

Pulau Papua dikaruniai beragam kekayaan alam dan budaya, termasuk masyarakat hukum adatnya (MHA). Ironisnya, pulau yang Indah itu kerap diwarnai konflik dimana salah satu pemicunya berkaitan dengan perampasan tanah milik MHA. Hal itu diungkapkan oleh Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, dalam sebuah acara instagram live. 

Emanuel mengatakan perampasan tanah MHA terjadi sejak berlakunya hukum Indonesia di tanah Papua pada 1 Mei 1963. Pemerintah Indonesia menasionalisasi berbagai perusahaan yang ditinggalkan pemerintah kolonial Belanda. Pria yang akrab disapa Edo itu menyebut nasionalisasi itu dilakukan tanpa mengetahui bagaimana perjanjian antara pemerintah Belanda dengan MHA yang lahannya digunakan untuk perusahaan.

“Nasionalisasi aset milik Belanda itu fakta terjadinya perampasan tanah milik MHA di Papua oleh pemerintah Indonesia,” kata Emanuel Gobay dalam diskusi melalui kanal Instagram Live Hukumonline bertema “Perampasan Tanah Masyarakat Adat untuk Kepentingan Investasi di Papua”, Rabu (12/1/2022). (Baca Juga: KPA: Bank Tanah Berpotensi Legalkan Perampasan Tanah)

Edo menuturkan perampasan tanah periode berikutnya terjadi ketika investasi mulai masuk di Papua. Salah satunya kerja sama PT Freeport dengan pemerintah Indonesia untuk membuka usaha pertambangan di Papua tahun 1967. Kerja sama itu tidak melibatkan MHA yang berada di lokasi konsesi perusahaan. Pada masa itu berbagai jenis investasi masuk ke Papua seperti melalui Hak Penguasaan Hutan (HPH).

Dia menilai investasi yang tidak melibatkan MHA itu berpotensi besar menimbulkan konflik, seperti yang terjadi dalam kasus Wasior berdarah bermula dari HPH perusahaan yang berakhir (1969-2001) dan MHA meminta lahan itu kembali. Tapi pihak perusahaan malah mengundang aparat sehingga terjadi bentrok dengan masyarakat. Sayangnya praktik perampasan tanah itu masih terjadi sampai sekarang.

Menurut Edo, peraturan yang ada sebenarnya sudah cukup untuk memberikan perlindungan terhadap MHA dan hak-haknya. Tapi berbagai aturan itu seolah hanya ada di atas kertas dan tidak ditegakkan. Sedikitnya ada 4 aturan yang memberi perlindungan terhadap MHA. Pertama, Pasal 18B UUD Tahun 1945 yang memandatkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU.

Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Kedua, Pasal 385 KUHP dimana unsurnya ada pihak yang melakukan tindakan hukum atas tanah tanpa diketahui masyarakat yang menguasai tanah tersebut atau atas nama hukum adat. Ketiga, Pasal 3 dan Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 3 UU No.5 Tahun 1960 mengatur pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari MHA sepanjang masih ada, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.

Kemudian Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960 memandatkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

“Artinya pengakuan kepemilikan tanah adat sudah diakui sejak 1960 (melalui UU No.5 Tahun 1960, red),” ujarnya.

Keempat, Pasal 43 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diperbarui UU No.2 Tahun 2021. Edo menegaskan ketentuan itu mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. Misalnya, penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

Edo berpendapat berbagai aturan yang melindungi MHA dan hak-haknya itu tidak berjalan. Padahal penegakan aturan itu penting untuk menghentikan perampasan tanah adat yang selama ini dialami MHA di Papua. Dari ribuan izin perkebunan, pertambangan, dan HGU yang dilakukan Presiden Jokowi belum lama ini, Edo mencatat 55 perusahaan diantaranya beroperasi di Papua dan Papua Barat.

“Pencabutan izin itu menunjukkan fakta bahwa izin yang diterbitkan pemerintah pusat itu tanpa diketahui MHA. Belum lagi izin yang diterbitkan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota yang saat ini masih beroperasi.”

Menurut Edo, pemerintah harus mengembalikan tanah adat yang sebelumnya digunakan perusahaan yang saat ini izinnya telah dicabut. Selain itu, rencana tata ruang dan wilayah di Papua dan Papua Barat harus memasukkan seluruh hutan Papua dalam status hutan adat, sehingga terlindungi dari eksploitasi. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk membantu dunia menghadapi ancaman pemanasan global.

Policy and Advocacy Manager EcoNusa, Cindy Junicke Simangunsong, mengatakan secara umum MHA di Papua menolak adanya perizinan di tanah adat. Mereka lebih memilih untuk mengelola sendiri tanah adat itu. “Mereka menegaskan jangan ada lagi perusahaan yang merampas tanah adat,” ujarnya.

Menurut Cindy, kebijakan yang ada selama ini tidak berpihak pada MHA. Ketentuan yang melindungi MHA tidak pernah berjalan. Terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga menambah persoalan bagi MHA karena beleid itu tujuannya untuk menjamin kepentingan investasi, bukan MHA. Meskipun ada kebijakan otonomi khusus bagi Papua, tapi Cindy melihat kebijakan yang diterbitkan bersifat top-down, tidak melibatkan MHA.

Cindy menyambut baik kebijakan pemerintah mencabut ribuan izin yang tidak produktif atau lahan konsesinya ditelantarkan. Dia memberi contoh proyek MIFEE yang menargetkan lahan sampai 1,2 juta hektar di Merauke, tapi realisasinya hanya 20 persen dan sisanya berupa kayu tanam. Padahal proyek MIFEE tujuannya untuk ketahanan pangan. Kebijakan itu tidak hanya merugikan masyarakat asli Papua, tapi juga pemerintah.

Begitu juga perkebunan kelapa sawit di Papua Barat yang jumlahnya mencapai 680 ribu hektar, tapi yang ditanam hanya 170 ribu hektar dan yang bayar pajak hanya 17 ribu hektar. “Praktik seperti ini merugikan semua pihak,” kata Cindy.

Tags:

Berita Terkait