Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik 1 Poin
Terbaru

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik 1 Poin

Kenaikan skor CPI 2021 satu poin disebabkan beberapa faktor antara lain kenaikan signifikan pada faktor risiko korupsi yang dihadapi oleh pelaku usaha pada sektor ekonomi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Lembaga Transparancy International mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index 2021 pada Selasa (25/1). Posisi Indonesia sebagai salah satu negara objek penelitian CPI dari 180 negara masih berada di bawah rata-rata global dengan skor 38/100 atau peringkat 96. Skor Indonesia hanya naik 1 poin dibanding 2020 yang berada pada skor 37/100.

Deputi Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, menyampaikan Indonesia sejak pertama kali CPI diluncurkan tahun 1995 selalu menjadi negara yang senantiasa diteliti. Dari sejumlah indikator penyusun CPI 2021 terdapat lima sumber data yang mengalami kenaikan dari CPI 2020 lalu, yakni Global Insight naik 12 poin; World Economic Forum EOS naik 7 poin; IMD World Competitiveness Yearbook naik 1 poin.

Sedangkan tiga indikator juga mengalami stagnasi antara lain; Economist Intelligence Unit, PERC Asia dan World Justice Project – Rule of Law Index. Sementara itu tiga indikator mengalami penurunan yakni; PRS yang merosot 2 poin, Bertelsmann Transformation Index dan Varieties of Democracy yang juga turun 4 poin dari tahun lalu.

Wawan menjelaskan kenaikan skor CPI 2021 satu poin disebabkan beberapa faktor antara lain kenaikan signifikan pada faktor risiko korupsi yang dihadapi oleh pelaku usaha pada sektor ekonomi seperti penyuapan pada area ekspor-impor, kelengkapan penunjang, pembayaran pajak, serta kontrak dan perizinan. Hal ini nampak dari kenaikan tiga indikator ekonomi. (Baca Juga: KPK Dalami Pengaturan Proyek Disertai Fee Kasus Bupati Langkat)

“Namun demikian tiga indikator yang mengalami stagnasi dan tiga indikator yang justru mengalami penurunan memperkuat bahwa korupsi politik dan penegakan hukum masih belum ada perbaikan yang signifikan,” jelas Wawan dalam publikasi CPI 2021.

Kemudian, sejumlah penanganan perkara korupsi besar seperti dalam kasus eks Menteri Sosial dan eks Menteri KKP pada awal tahun 2021 lalu hingga penangkapan Wakil Ketua DPR RI pada pertengahan tahun 2021 lalu turut mewarnai dinamika penegakan hukum antikorupsi. Termasuk penanganan skandal korupsi Jiwasraya dan Asabri. Juga sejumlah capaian yang telah dikukan oleh Satgas BLBI yang telah berupaya melakukan penyitaan aset dari para obligor/debitor prioritas.

“Tentu upaya penanganan sejumlah skandal kasus korupsi besar sepanjang masa pandemi memberikan kontribusi pada kenaikan CPI tahun 2021. Namun yang penting diperhatikan oleh pemerintah dan segenap pemangku kepentingan tentu saja tetap fokus pada upaya penegakan hukum yang lebih transparan dan akuntabel, terkait pengembalian aset akibat tindak pidana korupsi,” tambah Wawan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko, menyatakan ketika upaya antikorupsi memburuk dan bahkan terhenti, pada saat yang bersamaa, hak asasi manusia dan demokrasi menjadi terancam.

“Ini bukan kebetulan. Pemanfaatan situasi pandemi Covid-19 yang berkelanjutan oleh Pemerintah untuk mengikis hak asasi manusia dan demokrasi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas upaya antikorupsi yang lebih tajam di seluruh dunia di masa depan,” jelas Danang.

Dia mengatakan tahun 2022 ini bertepatan dengan peluncuran CPI 2021 situasi dunia masih diliputi oleh pandemi Covid-19. Semua negara tidak terkecuali menghadapi krisis multidimensi, yakni krisis kesehatan, ekonomi dan demokrasi secara serentak. Sejumlah kajian Transparency International menyatakan bahwa korupsi yang merusak pelayanan publik juga berpotensi sepanjang penanganan Covid-19 dan menihilkan partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan. Bahkan menuju kecenderungan untuk melanggar hak asasi manusia.

Untuk membuat kemajuan nyata melawan korupsi, menciptakan iklim demokrasi berkualitas dan menjunjung hak asasi manusia dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi, Danang menyampaikan Transparency International Indonesia memberikan rekomendasi kepada Presiden dan segenap jajaran Pemerintah, Lembaga Penegak Hukum (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan KPK), DPR dan Parpol, pihak swasta dan pelaku usaha serta semua pihak agar menegakkan demokrasi serta menjamin hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

“Pemerintah harus membatalkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul yang diterapkan sejak awal pandemi. Memastikan keadilan dan proporsionalitas penegakan hukum terhadap pembela hak asasi manusia di ruang publik, baik secara fisik maupun daring,” jelas Danang.

TII juga mengimbau pengembalian independensi dan kewenangan otoritas lembaga pengawas kekuasaan. Badan pengawasan seperti lembaga antikorupsi dan lembaga pemeriksa/pengawas harus kembali mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun, memiliki sumber daya yang baik, dan diberdayakan untuk mendeteksi dan memberikan hukuman atas pelanggaran. Parlemen dan pengadilan sebagai fungsi pengawas dan penyeimbang kekuasaan juga harus melakukan tugasnya secara konsekuen dan mandiri.

Kemudian, pemerintah harus serius dalam menangani kejahatan korupsi lintas negara. Pemerintah perlu memperbaiki kelemahan sistem yang memungkinkan korupsi lintas negara yang tidak terdeteksi atau tanpa sanksi. Pemerintah dan Parlemen harus menutup celah hukum, mengatur profesional pendukung kejahatan keuangan, dan memastikan bahwa koruptor dan kaki tangannya tidak dapat melarikan diri dari hukuman. Serta melakukan optimalisasi pemulihan aset negara akibat kejahatan secara transparan dan akuntabel.

TII juga menyarankan penegakan dan mempublikasikan hak atas informasi sepanjang penanganan pandemi. Sebagai bagian dari upaya pemulihan Covid-19, Pemerintah harus memenuhi janji mereka yang terkandung dalam deklarasi politik UNGASS Juni 2021 lalu untuk memasukkan prinsip-prinsip antikorupsi dalam pengadaan publik dan perlindungan terhadap warga negara. Transparansi penuh dalam pembelanjaan publik dalam rangka melindungi kehidupan dan mata pencaharian warganya.

Tags:

Berita Terkait