Isu Monopoli dan Kepailitan di Tengah Holding BUMN Tambang
Holding BUMN Tambang

Isu Monopoli dan Kepailitan di Tengah Holding BUMN Tambang

Hilangnya status “Persero” dalam Anggaran Dasar Perseroan PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk memiliki konsekuensi hukum berupa hilangnya keistimewaan antara lain menjadi subjek yang tunduk terhadap ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

Persero sendiri merupakan BUMN yang modalnya terbagi atas saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki negara dan memiliki tujuan utama untuk mengejar keuntungan. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 mengatur, modal persero merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta penyertaan modal negara dalam rangka pendirian dan penyertaan pada BUMN bersumber dari APBN. Implikasi hukumnya, pemisahan kekayaan negara pada Persero tidak dapat dikatakan sebagai keuangan publik.

 

Dengan demikian, seketika status hukumnya berubah menjadi uang persero yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Nomor 40 Tahun 2007. Sehingga, Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur larangan penyitaan terhadap barang-barang milik negara atau daerah atau yang dikuasai negara atau daerah tidak berlaku pada BUMN Persero. Patut diketahui, prinsip pemisahan kekayaan BUMN dari keuangan negara pun dipertegas lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011, di mana kedudukan BUMN sama seperti perseroan lainnya.

 

(Baca Juga: MK Rombak Aturan Piutang BUMN)

 

Menurut Nien Rafles Siregar dalam Kepalitian BUMN: Dualisme Sikap Pengadilan (2015), menyebutkan bahwa pada praktiknya telah terjadi dualisme putusan atas hak mengajukan permohonan pailit terhadap Persero karena pemahaman yang tidak cermat dari majelis hakim pemeriksa terhadap ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta penjelasannya. Letak ketidakcermatan tersebut pada frasa “tidak terbagi atas saham”, yang diartikan juga sebagai Persero yang sahamnya dimiliki 100% negara sehingga permohonan pailit hanya dapat diajukan Menteri Keuangan.

 

“Ketidakcermatan majelis hakim pemeriksa juga terlihat pada pemahaman kekayaan dari Persero yang merupakan milik negara yang hanya bertumpu pada UU Perbendaharaan Negara tanpa menghubungkannya dengan peraturan perundangan terkait lain sehingga berakibat tidak dapat dilakukan penyitaan dan tidak dapat dipailitkan,” tulis Nien.

 

Nien menjelaskan, BUMN Persero tidak termasuk dalam lingkup Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004, sepanjang dimaknai menggunakan pendekatan argumentum a contrario. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan secara langsung oleh debitor sendiri, kreditor atau para kreditornya. Hal tersebut juga dipertegas Pasal 11 UU 19 Tahun 2003, di mana prinsip-prinsip yang berlaku buat perseroan terbatas juga berlaku kepada BUMN Persero.

 

“Pasal 104 ayat (1) UU PT juga memberi hak kepada direksi perseroan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap diri perseroan. Mekanisme yang dilakukan: direksi wajib lebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS. Selama tidak ada persetujuan RUPS, direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit,” tulis Managing Partner firma hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP).

 

RUPS adalah organ perseroan yang tertinggi. Dalam BUMN Persero, kedudukan menteri yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara dalam hubungannya dengan RUPS dipengaruhi oleh jumlah kepemilikan saham. Apabila saham Persero dimiliki 100% oleh negara, maka kedudukan menteri bertindak selaku RUPS. Sebaliknya, jika saham yang dimiliki negara kurang dari 100% karena privatisasi, kedudukan menteri hanya selaku pemegang saham bersama dengan pemegang saham lainnya.

 

Namun, menurut Nien, kepemilikan 100% saham oleh negara tidak berarti permohonan pernyataan pailit hanya diajukan Menteri Keuangan sebagaimana Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 karena berdasarkan anggaran dasar telah ditentukan bentuk dan usahanya sebagai PT Persero sehingga permohonan pailit dapat diajukan oleh siapapun layaknya permohonan pailit perseroan swasta. Mesti dicatat, peran pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan tetap ada sepanjang adanya fasilitas negara yang digunakan oleh Persero.

 

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana akibat dari pernyataan palilit terhadap BUMN? Masih menurut Nien, perlakuan aset persero harus dibedakan dari perusahaan swasta, di mana dalam persero terdapat dua kepemilikan aset, yaitu aset negara dan aset milik persero. Merujuk Pasal 1 butir 11 dan 50 UU Perbendaharaan Negara tegas bahwa “barang milik negara” tidak dapat disita. Kata Nien, sepanjang barang tersebut dikuasai persero dipinjamkan oleh negara dan negara memperoleh dari APBN atau perolehan yang sah, berarti tidak dapat disita.

 

“Barang yang dikuasai perum/persero sepanjang dapat dibuktikan bukan milik negara, dapat disita. Sebaliknya, sekalipun aset itu dikuasai perum atau persero, apabila ternyata terbukti milik negara, yang tidak dapat disita adalah “barang milik negara”,” kata Nien.

 

Sayangnya, dalam penerapan terdapat dualism sebagaimana putusan-putusan pengadilan baik di tingkat pertama, kasasi, hingga peninjauan kembali. Catatan Nien, tedapat putusan yang menyatakan persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor yang memenuhi syarat, namun ada pula putusan yang menyatakan permohonan hanya dapat dimohonkan menteri keuangan. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA) terkait permohonan palilit terhadap PT Dirgantara Indonesia (Persero) dalam perkara Nomor:075K/Pdt.Sus/2007.

 

Sekadar mengingatkan, tiga mantan pegawai PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebelumnya mengajukan pailit dan permohonan tersebut dikabulkan majelis hakim Pengadilan Niaga dan PTDI dinyatakan pailit pada 4 September 2007. PTDI mengajukan kasasi dan MA mengabulkan permohonan kasasi tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa PTDI yang keseluruhan modalnya dimiliki negara dan merupakan objek vital industri sehingga permohonan pailit hanya dapat dilakukan menteri keuangan.

 

Padahal, menurut Nien, merujuk Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN bahwa BUMN yang dikuasai negara seluruhnya dan tidak terbagi atas saham adalah BUMN berbentuk Perum. Secara faktual, PTDI bukanlah BUMN Perum melainkan BUMN Persero. Begitu pula dengan putusan pailit PT Iglas (Persero) sebagaimana Putusan Nomor 111 PK/Pdt.Sus/2009, majelis juga mengabaikan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 yang memberi batasan bahwa BUMN yang tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya adalah BUMN yang kepemilikan seluruhnya dikuasai negara dan tidak terbagi atas saham.

 

“Hakim pada Pengadilan Niaga maupun MA hendaknya mencermati meskipun saham persero dimiliki 100 persen oleh negara, tidak berarti perseroan tersebut merupakan Perum dan permohonan pailit hanya dapat diajukan Menteri Keuangan. Hakim juga harus dapat memahami bahwa kepemilikan negara adalah terbatas pada kepemilikan sahamnya di Persero tersebut, bukan pada aset Perseroan, sehingga aset Perseroan dapat dilakukan sita umum (kepailitan),” kata Nien.

 

Tags:

Berita Terkait