Jalan Berliku Terbentuknya Holding BUMN Tambang
Holding BUMN Tambang

Jalan Berliku Terbentuknya Holding BUMN Tambang

Rencana holding BUMN industri tambang sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Polemik PP 72/2016

Di akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP No.72 Tahun 2016. Tujuannya, untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN. Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pengaturan pembentukan perusahaan induk BUMN.

 

Dengan pengaturan kembali mengenai Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pengalihan saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, BUMN dapat melakukan ekspansi lebih leluasa dengan membentuk holding company. Dalam pengalihan saham tersebut tidak perlu menggunakan mekanisme APBN yang cenderung lama karena harus melalui persetujuan DPR.

 

Namun, Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama beberapa pihak lain bereaksi dengan mendaftarkan permohonan uji materiil (judicial review) PP tersebut. KAHMI menganggap bahwa PP No. 72 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan holding atau penggabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertentangan dengan beberapa undang-undang, di antaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta tidak melibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

 

“Permohonan uji materi ini merupakan wujud sumbangsih kami untuk melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang tidak tepat. Gugatan ini diajukan oleh KAHMI dan beberapa pihak selaku Pemohon dan selaku Termohon adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Ketua Tim Hukum KAHMI, Bisman Bakhtiar, saat itu.

 

Berikut isi pokok permohonan uji materi PPNo. 27Tahun 2016 yang diajukan KAHMI:

  1. Ketentuan tentang “barang milik negara” sebagai sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari APBN (Pasal 2 ayat (2) huruf b). ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara  yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN.
  2. Ketentuan tentang Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2A PP 72/2016). Ketentuan ini bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Selain itu,  bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013. Isi PP ini juga merupakan perlawanan Pemerintah pada Rekomendasi Panja Aset Komisi VI DPR RI Tahun 2014. Ketentuan ini berpotensi sebagai legitimasi privatisasi diam-diam oleh Pemerintah tanpa melibatkan DPR RI, karena pada prinsipnya saham dan kekayaan BUMN merupakan kekayaan/keuangan negara sehingga jika terjadi peralihan harus dengan proses APBN dan persetujuan DPR RI agar dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Ketentuan tentang menyamakan anak perusahaan BUMN dengan BUMN untuk mendapatkan kebijakan khusus negara/pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketantuan ini  bertentangan UU BUMN dan konstitusi UUD 1945. Karena yang disebut BUMN adalah jika sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan yang bisa mendapatkan kebijakan khusus negara termasuk pengelolaan sektor strategis seperti pengelolaan sumber daya alam hanya BUMN.

 

(Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN)

 

Namun, Mahkamah Agung menolak gugatan uji materi tersebut. Dalam pertimbangannya, Hakim MA Supandi menyatakan bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) saham badan usaha milik negara (BUMN) ke BUMN lainnya yang mengakibatkan BUMN menjadi anak perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa terhadap BUMN yang menjadi anak perusahaan dari BUMN induk berubah menjadi Perseroan Terbatas.

 

Selain itu, holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam praktiknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Dengan demikian, Pasal 2A ayat (2) tidak bertentangan dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Tags:

Berita Terkait