Polemik PP 72/2016
Di akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP No.72 Tahun 2016. Tujuannya, untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN. Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pengaturan pembentukan perusahaan induk BUMN.
Dengan pengaturan kembali mengenai Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pengalihan saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, BUMN dapat melakukan ekspansi lebih leluasa dengan membentuk holding company. Dalam pengalihan saham tersebut tidak perlu menggunakan mekanisme APBN yang cenderung lama karena harus melalui persetujuan DPR.
Namun, Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama beberapa pihak lain bereaksi dengan mendaftarkan permohonan uji materiil (judicial review) PP tersebut. KAHMI menganggap bahwa PP No. 72 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan holding atau penggabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertentangan dengan beberapa undang-undang, di antaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta tidak melibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
“Permohonan uji materi ini merupakan wujud sumbangsih kami untuk melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang tidak tepat. Gugatan ini diajukan oleh KAHMI dan beberapa pihak selaku Pemohon dan selaku Termohon adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Ketua Tim Hukum KAHMI, Bisman Bakhtiar, saat itu.
Berikut isi pokok permohonan uji materi PPNo. 27Tahun 2016 yang diajukan KAHMI:
|
(Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN)
Namun, Mahkamah Agung menolak gugatan uji materi tersebut. Dalam pertimbangannya, Hakim MA Supandi menyatakan bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) saham badan usaha milik negara (BUMN) ke BUMN lainnya yang mengakibatkan BUMN menjadi anak perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa terhadap BUMN yang menjadi anak perusahaan dari BUMN induk berubah menjadi Perseroan Terbatas.
Selain itu, holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam praktiknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Dengan demikian, Pasal 2A ayat (2) tidak bertentangan dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.