Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional
Kolom

Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional

Bacaan 2 Menit

 

Dengan tidak adanya keharusan kapal-kapal milik nasional berbendera Indonesia, industri maritim dalam negeri berpeluang mendapatkan pesanan membangun dan memperbaiki kapal-kapal milik nasional atau milik asing yang berbendera kemudahan. 

 

Penggunaan bendera negara kemudahan telah berlangsung cukup lama dan melahirkan kerja sama internasional, mengatur dan memeriksa kelaiklautan kapal milik perusahaan nasional mana saja, menggunakan regulasi yang sama. Kontrol kelaiklautan kapal menggunakan standar peraturan yang sama. Kapal-kapal berbendera negara kemudahan dibangun dan dikontrol menggunakan IMO Conventions yang berlaku dan didelegasikan penuh pada Biro Klasifikasi yang diakui oleh negara bendera mengkelaskan kapal tersebut.  Pemeriksaan di pelabuhan (Port State Control) juga demikian, minimum menggunakan peraturan yang sama dan bisa lebih dari itu berdasarkan pertimbangan kelestarian lingkungan perairan dari negara pelabuhan yang dikunjungi oleh kapal itu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan Konvensi-Konvensi IMO.

 

Namun demikian peraturan kemudahan ini tidak pernah di muat dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Indonesia untuk dimanfaatkan malahan kapal yang berbendera diluar bendera Nasional dianggap sebagai kapal asing yang harus dilarang penggunaannya di Indonesia.

 

UU No 17/2008

Undang-undang ini dibuat untuk memperbaiki UU No 21/1992 dan Inpres No 5/2005, dengan maksud menyesuaikannya dengan perkembangan baru dan semangat meningkatkan daya saing perusahaan pelayaran milik nasional. Tujuannya baik tetapi tetap dengan cara yang sama karena tidak sesuai dengan tuntutan globalisasi usaha pelayaran. Malahan status quo lebih ditegaskan lagi dalam UU No 17/2008 Bab V bahwa “Angkutan di Perairan dalam negeri dan luar negeri oleh Perusahaan Pelayaran Nasional harus menggunakan kapal berbendera Indonesia”.

 

Di satu pihak, Pemerintah menerima UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi IMO mengenai kelaiklautan kapal diratifikasi sebagai standar Internasional yang digunakan bersama dalam rangka globalisasi perdagangan dunia. Namun, di pihak lain, Pemerintah masih menganggap instrumen untuk bisa bersaing dengan baik menggunakan bendera negara kemudahan tidak diterima dan tetap dianggap sama dengan bendera negara asing lainnya, yang harus dilarang digunakan di Indonesia. Pemerintah belum menyadari bahwa maksud dan tujuan penggunaan bendera kemudahan adalah untuk kepentingan pengusaha nasional melakukan persaingan usaha secara global. Peraturan dan cara pandang demikian jelas tidak bisa memberdayakan perusahan pelayaran nasional kita untuk mampu bersaing dengan perusahaan pelayaran milik asing yang sejak semula menggunakan fasilitas untuk memiliki kapal berbendera kemudahan.

 

Kapal-kapal yang masuk keluar Indonesia selama ini membawa barang/penumpang dan bekerja di lepas pantai Indonesia umumnya berbendera negara kemudahan. Kapal-kapal itu tidak berarti milik warga negara bendera kemudahan (Belise, Vanuatu, Liberia, Panama, Honduras dsb), tetapi hampir 100 persen milik pengusaha besar dari negara-negara industri maju (Eropa, USA, Jepang, Singapura, Hong Kong dsb) dan tidak tertutup kemungkinan ada dari kapal-kapal itu milik pengusaha nasional indonesia yang hengkang dan berdomisili di luar negeri. Mengapa Pemerintah melarang pengusaha nasional kita di dalam negeri, melakukan hal yang sama?

 

Mengharuskan kapal-kapal milik perusahaan nasional, ocean going dan penunjang kegiatan usaha migas di lepas pantai berbendera nasional dan kelas BKI dimana survey kelaiklautannya harus dilakukan oleh Syahbandar dan BKI jelas kurang dipercaya oleh investor asing, menghambat mobilitas dan penerimaan kapal-kapal itu berkunjung dan bekerja di negara lain. Pemilik modal dari luar tidak akan bersedia membiayai pembangunan atau pemeliharaan kapal-kapal itu. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: