Ketua MK Ingatkan 5 Poin Putusan Terkait Organisasi Advokat
Utama

Ketua MK Ingatkan 5 Poin Putusan Terkait Organisasi Advokat

Hingga saat ini pembentukan organisasi advokat sesuai amanat UU Advokat belum mampu diwujudkan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Diantaranya, Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006; Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009; Putusan MK Nomor 66/PUU-VIII/2010; Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014; Putusan MK Nomor 36/PUU-XIII/2015; Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018. Dari enam putusan MK itu, terdapat lima hal pokok yang bisa dijadikan kesimpulan.

Pertama, melalui Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006, MK menegaskan dalam pertimbangan hukumnya, Peradi sebagai organisasi advokat satu-satunya wadah profesi advokat menurut UU 18/2003. Kedua, melalui Putusan MK Nomor 66/PUU-VIII/2010, Peradi sebagai organisasi tunggal profesi advokat menurut UU 18/2003 memiliki sejumlah kewenangan yakni melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA); pengujian calon advokat; pengangkatan advokat; membuat kode etik; membentuk Dewan Kehormatan; membentuk Komisi Pengawas; melakukan pengawasan dan pemberhentian advokat.

Ketiga, melalui Putusan MK Nomor 66/PUU-VIII/2010, MK telah mempertimbangkan tentang organisasi-organisasi advokat lain yang secara de facto ada saat ini tak dapat dilarang keberadaannya. Sebab, konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin Pasal 28  dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Keempat, berkaitan penyumpahan advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi (PT) terhadap advokat pada organisasi advokat di luar Peradi tak serta merta dibenarkan dapat menjalankan 8 kewenangan sebagaimana amanat UU 18/2003. Namun, kata Anwar, dengan tak membolehkan melaksanakan 8 kewenangan tersebut malah menghambat hak konstitusional setiap orang termasuk organisasi advokat lain yang secara de facto melakukan kewenangan tersebut.

“Ini sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bekerja, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak, dalam hubungan kerja,” lanjutnya.

Kelima, berkaitan sebagian advokat yang tetap menginginkan wadah tunggal organisasi advokat atau diubah menjadi bentuk organisasi multi bar system, MK telah menegaskan dalam Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan MK Nomor 36/PUU-XIII/2015. Menurut Anwar, melalui dua putusan MK tersebut, MK berpendirian single bar atau multi bar system, prinsipnya bagian dari kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk UU (open legal policy) yang menentukan sesuai kebutuhan organisasi advokat di Indonesia.

Dengan begitu, menurut Anwar, dengan sifat final putusan MK itu, semestinya perdebatan mengenai konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksud UU 18/2003 dipandang telah selesai. Namun, faktanya hingga kini kalangan advokat belum mampu mewujudkan amanat UU Advokat terkait bagaimana bentuk organisasi advokat. Padahal, dalam Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009, MK telah mempertimbangkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang mengamanatkan adanya organisasi advokat yang menjadi satu-satunya wadah profesi advokat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait