Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid IV
Kolom Hukum J. Satrio

Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid IV

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang mengemukakan, bahwa dalam common law sistem ada juga semacam kewajiban praeparatoire, yaitu untuk mempersiapkan perjanjian dengan iktikad baik.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Jadi dengan  pertimbangan “rasional” dan “pragmatisme”, pihak yang non repudiating patut untuk menganggap dirinya telah bebas dari kewajiban prestasi, tetapi dengan tetap mempertahankan haknya untuk menuntut ganti rugi. Perhatikan dengan baik, bahwa menganggap batalnya perjanjian bagi pihak yang non-repudiating terjadi tanpa menunggu keputusan hakim.

 

Pengadilan membolehkan pihak yang non-repudiating untuk menganggap tindakan seperti itu sebagai pelanggaran perjanjian dan membenarkan pihak yang non-repudiating untuk segera menggugat pelanggaran perjanjian. Oleh Lord Campball dalam perkara Hochster v. De La Tour, dikatakan, bahwa: “If it should be held that, upon a contract to do an act on a future day, a renunciation of the contract by one party dispenses with a conditioned to be performed in the meantime by  the other,  there seems no reason for requiring that other to wait till the day arrives before seeking his remedy by action; and the only ground on which the condition can be dispence with seems to be, that the renunciation may be treated as a breach of contact “.

 

Yang penting untuk diperhatikan adalah akibat dari adanya breach of contract, yaitu pihak yang non-repudiating langsung berhak untuk rescind the contract, atau menuntut ganti rugi. Pihak yang non repudiating bisa langsung -tanpa menunggu keputusan pengadilan- menganggap perjanjian telah batal. Untuk menuntut ganti rugi tidak perlu dilancarkan ada somasi lebih dahulu. 

 

Jadi breach of contract dalam common law adalah sama dengan tidak memenuhi kewajiban prestasi yang seharusnya dipenuhi oleh pihak yang me-repudiate perjanjian. Jadi kata-kata “as if there is a breach“ adalah sama dengan di civil law “telah wanprestasi“, sehingga menurut jalan pikiran kita, di common law sudah bisa ada wanprestasi sebelum jatuh tempo pelaksanaan perjanjian, beserta dengan semua akibat wanprestasi.

 

Tidak ada disebutkan dasar dari prinsip tersebut selain pertimbangan praktis, bahwa “… it is surely much more rational, and more to the benefit of both parties ….”. Namun kita boleh menduga, bahwa dasarnya ada pada eratnya hubungan antara prestasi dan kontraprestasi dalam perjanjian timbal balik. Bukankah prinsip itu -sesuai dengan perumusannya di atas- tidak berlaku untuk perjanjian yang sepihak? (James C. Gulotta, Jr, hal. 930-931). Alasan yang dikemukakan antara lain adalah:

  • adalah tidak patut, bahwa pihak yang tidak melanggar perjanjian, harus tetap  melaksanakan kewajibannya, kalau lawan janjinya sudah menyatakan tidak mau berprestasi
  • pihak yang tidak melanggar perjanjian harus diberikan kesempatan untuk menutup perjanjian seperti itu dengan pihak lain (Kenneth W. Clarkson et all, hal. 322 ).

 

Kesimpulannya: sekalipun waktu pelaksanaan perjanjian belum tiba, dengan perkataan lain sekalipun prestasi belum matang untuk ditagih, dalam peristiwa repudiasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak yang lain sudah bisa menganggap perjanjian adalah batal atau melancarkan tuntutan ganti rugi. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait