Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid IV
Kolom Hukum J. Satrio

Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid IV

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang mengemukakan, bahwa dalam common law sistem ada juga semacam kewajiban praeparatoire, yaitu untuk mempersiapkan perjanjian dengan iktikad baik.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Dalam Hukum Romawi atas dasar eratnya hubungan antara prestasi dan kontra prestasi tercermin dalam lembaga hukum: exceptio non adimpleti contractus, yaitu suatu tangkisan, yang mengatakan, bahwa Anda sendiri wanprestasi, Anda tidak berhak menuntut prestasi dari lawan janji Anda. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) asas tersebut dituangkan dalam Pasal 1266 BW, yang mengatakan bahwa:  Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam persetujuan timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

 

Yang perlu untuk diperhatikan adalah, kalaupun salah satu pihak sudah wanprestasi, namun perjanjian tidak dengan sendirinya menjadi batal. Untuk itu masih harus dimintakan keputusan Hakim. Jadi, lain dengan prinsip common law, perjanjian tidak dengan sendirinya menjadi batal.

 

Prinsip common law tersebut di atas berbicara tentang periode di mana debitur, dengan berpegang kepada unsur waktu prestasi, menurut cara berpikir BW, mestinya belum wanprestasi. Lalu dalam peristiwa seperti itu, bagaimana BW memberikan penyelesaiannya.

 

Di dalam sistem BW berlaku asas, kalau perjanjian ditutup tanpa ketentuan waktu, maka kalau debitur, sebelum jatuh waktu untuk berprestasi, sudah menyatakan, bahwa ia tidak mau berprestasi, atau telah melakukan tindakan-tindakan atau mengambil sikap yang menunjukkan/mengakibatkan, bahwa debitur tidak mau atau tidak bisa lagi diharapkan untuk berprestasi, maka kreditur tidak perlu melayangkan somasi (A.Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, hal. 43 dan  50).

 

Kreditur bisa langsung melancarkan gugatan -yang berlaku sebagai suatu somasi- untuk pemenuhan, dengan atau tidak dengan ganti rugi, atau pembatalan dengan disertai atau tidak disertai ganti rugi. Dalam gugatan diberikan waktu kapan debitur paling lambat prestasinya ditunggu. Dengan cara demikian perjanjian tanpa ketentuan waktu menjadi mempunyai batas waktu. Gugatan di sini dilancarkan dengan syarat tangguh, yaitu kalau somasi tidak dipenuhi.

 

Tapi kalau perjanjian ditutup dengan ketentuan waktu, maka untuk melancarkan gugat pembatalan dan ganti rugi, kreditur masih harus menunggu sampai tagihannya matang untuk ditagih, sebab jangan lupa, ketentuan waktu -kecuali yang dimaksudkan sebagai termin batal- selalu ditafsirkan untuk keuntungan debitur. Kreditur bisa memberikan somasi, tetapi tidak boleh menetapkan waktu menyimpang dari yang disepakati dalam perjanjian atau kurang dari itu, sebagai batas waktu prestasi. Kreditur  harus memberikan sedikit kelonggaran kepada debitur (A.Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, hal. 52). Demikian pula kalau ada disetujui ketentuan waktu, yang diadakan untuk keuntungan kreditur.

 

Kesimpulan: karena dalam common law system, pernyataan repudiasi dari salah satu pihak dalam perjanjian, memberikan kepada lawan janji suatu kewenangan untuk mengambil langkah yang jauh lebih awal, daripada pada civil law system, maka kita bisa menduga, bahwa ada lebih banyak pemanfaatkan lembaga anticipatory breach of contract daripada yang dilakukan oleh kreditur dalam peristiwa yang sama pada civil law system.

Tags:

Berita Terkait