Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE
Utama

Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE

Keseriusan sikap pemerintah untuk mengusulkan revisi UU ITE ditunggu dan tak boleh hanya sebatas retorika. Bila pemerintah ingin membuat pedoman interpretasi UU ITE dinilai tidak tepat karena bukan norma peraturan perundang-undangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Itu sebabnya penggunaan UU ITE tak boleh serampangan menjerat orang atau kelompok yang kritis terhadap pemerintah dengan mengada-ada semata. Sebaliknya, bila memang terdapat unsur pidana terhadap perbuatan pelanggaran UU ITE, maka tetap dapat diganjar hukuman pidana. “Makanya harus dipilah secara benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa,” katanya.

Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mempertanyakan keseriusan pemerintah yang ingin merevisi UU ITE yang tak boleh hanya sebatas retorika. Dia khawatir ucapan Presiden Joko Widodo sebatas “angin surga” demi populis semata. Karena itu, ucapan Presiden Jokowi sebaiknya mesti ditindaklanjuti dengan langkah konkrit.

Pertama, seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Ironisnya, rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang telah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk. Bahkan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”.

Kedua, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan. Termasuk mendukung revisi KUHAP yang mengatur terhadap segala upaya paksa harus seizin penetapan pengadilan. Sementara dalam UU ITE yang sekarang berlaku (UU 19/2016), upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan.

Ketiga, pengaturan mengenai blocking & filtering juga harus direvisi. Dia menilai, meski kewenangan ini memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakan hukum, tapi perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan prinsip due process of law.

“Terlalu besarnya kewenangan pemerintah, eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan,” ujarnya.

Membuat pedoman interpretasi

Tapi sayangnya, rencana Presiden Joko Widodo nampaknya berbeda dengan langkah yang bakal diambil Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate malah mendukung upaya yang dilakukan lembaga yudikatif dan kementerian/lembaga untuk membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas.

Tags:

Berita Terkait