Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE
Utama

Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE

Keseriusan sikap pemerintah untuk mengusulkan revisi UU ITE ditunggu dan tak boleh hanya sebatas retorika. Bila pemerintah ingin membuat pedoman interpretasi UU ITE dinilai tidak tepat karena bukan norma peraturan perundang-undangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran,” ujar Menkominfo Johnny G. Plate dalam siaran persnya, Selasa (16/2/2021) kemarin.

Menurutnya, UU ITE memiliki semangat menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, bahkan produktif. Atas dasar itulah pemerintah berupaya agar pelaksanaan UU ITE menerapkan prinsip keadilan. Dia mengingatkan sejumlah pasal yang dianggap “pasal karet” telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya sejumlah pasal itu dinilai Mahkamah tetap konstitusional. Seperti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

"Perlu dicatat Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang kerap kali dianggap sebagai ‘Pasal Karet’, telah beberapa kali diajukan uji materi ke MK dan selalu dinyatakan konstitusional," jelasnya. 

Menkominfo ini mengingatkan Pemerintah bersama DPR telah melakukan revisi terhadap UU ITE pada tahun 2016 yakni UU 11/2008 menjadi UU 19/2016. "Upaya di atas terus dilakukan dan dioptimalkan oleh Pemerintah. Namun, jika dalam perjalanannya tetap tidak dapat memberi rasa keadilan, kemungkinan revisi UU ITE juga terbuka. Kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden," katanya.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing mengkritik keras rencana Menkominfo membuat pedoman intrepretasi resmi UU 19/2016. Menurutnya, tak ada pedoman intrepretasi hukum. Sebab, pedoman tersebut bukanlah suatu norma hukum. “Sehingga apabila tetap dibuat sudah pasti tidak mengikat karena bukan peraturan perundangan,” ujarnya.

David menilai seharusnya yang dilakukan meninjau kembali pengaturan UU ITE berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan seterusnya. Selain hierarki, interpretasi pada batang tubuh norma dalam UU ITE tercantum dalam Penjelasan.

Dia menerangkan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.

“Penjelasan sebagai sarana memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud,” kata David Tobing.

Untuk itu, David meminta pembentuk UU harus mempertegas Penjelasan dari pasal-pasal yang dinilai bermasalah bagi publik melalui revisi UU ITE, sehingga tidak terjadi multitafsir dalam implementasi oleh para penegak hukum.

David mengingatkan agar Para Menteri dan lembaga terkait menyikapi UU ITE tidak membuat istilah-istilah yang tidak dikenal dalam hukum. David sangat setuju dengan saran Presiden Jokowi apabila UU ITE terdapat banyak pasal karet yang penerapannya menimbulkan ketidakadilan harus direvisi bersama dengan DPR. “Langkah paling tepat adalah Revisi UU ITE terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai mekanisme perubahan UU demi kepastian hukum,” tutup David.

Tags:

Berita Terkait