Meneropong Efektivitas Pembuatan UU di Tahun Politik
Lipsus Akhir Tahun 2018:

Meneropong Efektivitas Pembuatan UU di Tahun Politik

Dibutuhkan keseriusan dan strategi pembuatan UU agar lebih terukur, efektif, dan efisien.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Karena itu, tak heran sejumlah pihak menyarankan agar pembentuk UU mengubah strategi proses pembuatan UU agar lebih terukur, efektif dan efisien terutama dari sisi anggaran proses pembuatan RUU yang membutuhkan biaya besar. Misalnya, RUU yang sudah berstatus rampung di tingkat pembahasan pertama dapat segera diselesaikan dan disahkan menjadi UU. Berdasarkan kesepakatan Baleg DPR, pemerintah dan DPD beberapa waktu lalu ditetapkan sebanyak 55 RUU Prolegnas Prioritas 2019. Dari jumlah itu, 27 RUU Prolegnas Prioritas 2018 yang berstatus dalam pembahasan tingkat pertama masuk dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2019.  

 

Hukumonline.com

 

Tergantung keseriusan

Ketua DPR Bambang Soesatyo menerangkan pihaknya sudah mengagendakan sepekan sekali pada hari kamis di semua komisi dan Baleg menjadi hari pembahasan legislasi. Namun, banyak faktor RUU yang menjadi sebab target prolegnas tak tercapai. Belum lagi, RUU Prioritas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlahnya yang berasal dari inisiatif pemerintah ataupun DPR.

 

Kemarin sebenarnya sudah jauh di bawah angka 50 RUU (yang bakal ditetapkan dalam RUU Prolegnas 2019). Tapi, akhirnya masuk lagi tambahan 12 RUU, beberapa diantaranya usulan pemerintah,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (18/12/2018). Baca Juga: Kinerja Legislasi Dikritik, Ini Tanggapan Ketua DPR

 

Dia mengakui semestinya sejumlah RUU yang berstatus pembahasan tingkat pertama jauh lebih cepat penyelesaiannya. Lagi-lagi, permasalahannya lemahnya komitmen antara DPR dan pemerintah dalam upaya menyelesaikan RUU. Baginya, efektivitas pembahasan setiap RUU amat tergantung keseriusan dan kesungguhan DPR dan pemerintah agar tidak berlarut-larut.

 

Belum lagi, ada persoalan beberapa RUU inisiatif pemerintah hingga penghujung akhir 2018 ini belum mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Bahkan, ada pembahasan RUU sudah dilakukan perpanjangan lebih dari 5 kali masa persidangan, tetapi DIM RUU belum juga dikirim. Seperti, pembahasan RUU Wawasan Nusantara yang sudah diperpanjang hingga 13 kali masa persidangan.

 

Tak hanya itu, para menteri yang ditunjuk presiden sebagai wakil pemerintah saat pembahasan RUU mengirimkan pejabat yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Misalnya, RUU tentang Kewirausahaan Nasional dan RUU Pertembakauan. “Bahkan sering tidak hadir, seperti dalam pembahasan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol. Kita berharap para menteri yang telah ditunjuk presiden agar serius membahas RUU bersama DPR.”

 

Ubah strategi

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Solikin menyarankan pembentuk UU perlu mengubah strategi pembuatan UU agar lebih efektif dan efisien. Misalnya, memperkuat monitoring dan evaluasi terhadap setiap pembahasan UU. Selain itu, setiap alat kelengkapan dewan menentukan skala prioritas penyelesaian setiap RUU sesuai tingkat kebutuhan hukum masyarakat. “Jadi tentukan pembuatan RUU paling penting dan urgent dibanding RUU lain,” kata Solikin.

Tags:

Berita Terkait