Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?
Kolom

Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?

Apakah seseorang yang bukan advokat boleh beracara di Mahkamah Konstitusi? Tulisan ini akan mencoba mengurai dengan merujuk pada kasus yang terjadi.

Bacaan 2 Menit

 

Lalu, bagaimana kita menilai relasi Refly atau pihak lainnya (sarjana hukum)  yang bukan Advokat mewakili ‘kliennya’ di sidang MK?

 

Penulis tak tahu persis dasar argumentasi MK yang mengijinkan pihak yang bukan Advokat boleh mewakili seseorang dalam Persidangan di MK. Namun sebelum tergesa-gesa meminta MK untuk merevisi aturan dan tata tertib beracaranya, ada baiknya kita mengajukan beberapa pertanyaan mendasar. Walaupun UU Advokat mengatur hal demikian, tetapi benarkah masyarakat memang memerlukan Advokat? Apakah kita memang selalu perlu penasihat hukum dalam perkara hukum yang tengah dihadapi? Apakah kita perlu seseorang untuk membela perkara kita di pengadilan? Atau apakah UU Advokat tersebut memberikan ‘hak monopoli’ kepada Advokat untuk ‘mewakili suatu perkara?”

 

Dalam sejarah peradilan di Republik Indonesia, pada dasarnya memang tidak ada  kewajiban bagi seseorang untuk minta bantuan dari seorang Advokat. Kewajiban itu  mungkin ada dalam masa Hindia Belanda, untuk perkara yang diajukan di muka Raad  Van Justitie, di mana dikenal asas “verplichte vertegenwoordiging” atau kewajiban menguasakan dirinya pada seorang Advokat (Reksodiputro, 2009).

 

Ketiadaan kewajiban tersebut sangat logis karena memang minimnya tenaga Advokat  pada saat itu. Apabila kita melihat keberadaan pendidikan hukum zaman Hindia Belanda. Tahun 1909, saat Rechtsschool di Batavia dibuka, lulusannya tidak dapat menjadi Advokat, hanya boleh menjadi panitera, jaksa, hakim. Baru pada tahun 1924, kesempatan lulusan fakultas hukum tersebut menjadi Advokat terbuka (Frans Winarta, 2009).

 

Sampai saat ini, ‘sejarah’ tersebut masih terbawa dalam praktik peradilan  Perdata. Dalam hukum acara perdata yang kerap dipakai (HIR, Rbg, Rv), seorang yang berperkara, selain dapat mewakili dirinya sendiri (the right of self-representation) dalam berperkara, juga dapat meminta bantuan dari pihak lain yang bukan Advokat. Namun dalam praktik di Pengadilan, ketika menghadapi perkara hukum, seseorang hanya dimungkinkan membela dirinya sendiri dan apabila meminta bantuan dari pihak lain, haruslah seorang Advokat. Hal ini ditegaskan setidaknya dalam beberapa perkara yang menyangkut bidang pidana, kepailitan, pasar modal dan lain sebagainya, yang bahkan meminta sertifikasi khusus dari  seorang Advokat. Seseorang yang bukan Advokat tak berhak mewakili pihak yang  berperkara. Hal ini wajar, dikarenakan hukum modern memang mengandung  kekompleksitasannya sendiri. Dugaan penulis, karena Undang-Undang MK tidak  mewajibkan hal tersebut, MK menafsirkan bahwa pihak yang bukan Advokat  diperkenankan untuk mewakili seseorang. Apalagi pasal 31 UU Advokat, yang mengancam pidana seseorang yang memberikan jasa hukum yang bertindak seolah-olah sebagai Advokat, juga telah dianulir MK.

 

Argumentasi kedua yang dapat kita duga, mungkin berangkat dari fakta sosiologis: rendahnya akses pencari keadilan terhadap Advokat. Saat ini, meskipun Fakultas  Hukum bertebaran di sana-sini, perbandingan antara jumlah Advokat dengan pencari keadilan cukup jomplang. Selain itu keberadaan Advokat juga tidak merata. Umumnya Advokat berada di kota-kota besar sehingga akses masyarakat di daerah menjadi terbatas. Kondisi ini diperparah oleh fakta keras bahwa saat ini Advokat masih ‘malas’ untuk menjalankan kewajiban pro bono alias gratisan. Banyak pula yang berpendapat bahwa menggunakan jasa Advokat cukup mahal. Alasan sosiologis demikian jugalah yang kemudian mendorong berbagai pihak civil society memaksa parlemen untuk membuat UU Bantuan Hukum.

 

Cukupkah dua argumen sebagai dasar untuk membenarkan ‘kebijakan’ MK? Paska dianulirnya Pasal 31 UU Advokat, konsep ‘monopoli’ untuk mewakili suatu perkara, memang runtuh. Siapapun boleh untuk memberikan jasa hukum sepanjang para pihak menyepakatinya. Apalagi ditambah dengan konsep lain semacam ‘Lex Specialis Derogat Legi Generali’: apabila sebuah UU tidak mengatur hanya Advokat yang boleh memberikan jasa hukum, maka ketentuan dalam pasal 1 UU Advokat, dikesampingkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: