Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?
Kolom

Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?

Apakah seseorang yang bukan advokat boleh beracara di Mahkamah Konstitusi? Tulisan ini akan mencoba mengurai dengan merujuk pada kasus yang terjadi.

Bacaan 2 Menit

 

Sah-sah saja memang untuk berpendapat seperti ini. Namun sebenarnya, hal demikian di masa yang akan datang Penulis duga akan sangat merugikan masyarakat. Mengapa demikian? Sebab mereka yang bukan Advokat, namun berikan jasa hukum (dan  mendapatkan pembayaran dari jasa yang diberikan), akan berada dalam kondisi minim pengawasan terhadap tindak tanduknya dalam memberikan jasa kepada masyarakat. Mereka tak terikat ‘code of conduct’ (Kode Etik Profesi) karena dirinya hanyalah seorang ‘praktisi freelancer’, bukan Advokat. Mereka tak tunduk dengan konsep ‘fiduciary’ dalam relasi Advokat-Klien.

 

Advokat merupakan jenis profesi yang unik. Di satu sisi, dirinya merupakan  seorang penegak hukum, namun di sisi lainnya juga merupakan penyedia jasa yang sifatnya komersial. Sebagai penegak hukum dirinya dituntut untuk bertindak sesuai dengan norma-norma hukum, moralitas, dan etika dengan derajat yang tinggi dalam menjalankan pekerjaan. Sedangkan sebagai pebisnis dirinya juga dituntut untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kliennya. Hubungan ini sama seperti hubungan yang timbul antara seorang direktur dan perseroan terbatas atau bank dengan nasabahnya. (Munir Fuady, 2003).

 

Dalam hal ini ada suatu kepercayaan yang penuh (trust and confidence) yang diberikan oleh klien kepada advokat tersebut. seorang advokat memunyai tanggung jawab moral dan hukum yang sangat tinggi terhadap kliennya, kemampuan, iktikad baik (good faith), loyalitas, dan kejujuran terhadap kliennya, dengan derajat yang tinggi (high degree) dan tidak terbagi. Konsekuensi dari hubungan fiduciary melahirkan beban berat yang harus disandang dalam setiap perilakunya sebagaimana yang tertuang dalam kode etik. Advokat sebagai profesi luhur, selalu menggunakan model perikatan yang mengupayakan, sama seperti dokter. Advokat akan melakukan seluruh perintah kliennya dengan cara sebaik-baiknya namun dengan batasan etik dan norma. Karena sifatnya mengupayakan, Advokat kemudian tidaklah boleh menjanjikan sesuatu kepastian mengenai hasil, kecuali berupaya semaksimal mungkin.

 

Selain kode etik, Undang-Undang Advokat juga sudah memberikan penegasan yang  terang, di mana dalam Pasal 5 ayat 1 dari UU disebukan Advokat merupakan bagian  dari penegak hukum atau officer of the court. Sebagai penegak hukum, dirinya dituntut juga untuk menghormati seluruh praktek peradilan yang benar. Meskipun belum jelasnya pengaturan contempt of court di Indonesia, tetap saja tidak menghilangkan kewajiban Advokat untuk tidak menghormati seluruh prosedur yang berlaku. Dirinya tidak boleh berperilaku menyimpang dan tercela, konkritnya seluruh perbuatan terkait penanganan perkara tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika (dan juga hukum positif). Misalnya, melakukan negosiasi dengan hakim, meminta bantuan panitera untuk mendekati hakim, beriklan, menelantarkan Klien, bersikap kasar dengan rekan Advokat dan penegak hukum lainnya di persidangan, dan mengumbar rahasia klien kepada orang lain.

 

 

Di sinilah titik penting dalam mempertanyakan kebijakan MK membolehkan mereka  yang bukan Advokat memberikan jasa hukum. Mereka, para ‘praktisi freelancer’ selain tak terikat kode etik, juga tak pernah memiliki kewajiban bergabung dengan Organisasi Avokat yang memiliki lembaga penegak kode etik (Dewan Kehormatan Profesi) dan enaknya tak perlu bersusah-susah seperti ribuan calon Advokat yang harus melalui seleksi dan persyaratan administrasi lainnya menjadi Advokat untuk kemudian baru berhak berikan jasa hukum. Terjadilah diskiriminasi: Seorang Advokat yang memberikan jasa hukum ‘dibebani’ banyak aturan bahkan diancam sanksi dari pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap apabila dalam berpraktik tak sesuai etik. Sedangkan seorang ‘freelancer’ bertindak  sesuka-sukanya tanpa pengawasan, untuk pemberian jasa yang sama.

 

Penulis tak mengatakan bahwa praktisi seperti Refly dan sarjana hukum lainnya yang bukan Advokat tak punya kemampuan seperti Advokat dalam berikan jasa atau memberikan jasa secara serampangan (bahkan lebih baik dari seorang Advokat mungkin), atau mereka yang berstatus Advokat ‘lebih berintigritas’ daripada yang tidak, sebab bukan di situ letak persoalannya. Hal yang ingin disampaikan adalah ada baiknya agar siapapun yang memberikan jasa hukum adalah mereka yang berstatus Advokat sesuai dengan pengaturan yang ada dalam UU Advokat. Hal ini akan memudahkan masyarakat pengguna jasa untuk meminta pertanggungjawaban ketika mereka berpraktek menyimpang. Pengawasan secara serentak juga akan memudahkan dalam mengidentifisir siapa-siapa yang berperan sebagai makelar kasus yang sepertinya cuma ramai di telinga tapi tak tampak di mata, ibarat kentut.

 

Sangat sulit juga untuk memahami tindakan mewakili ‘klien’ di sidang MK dalam  perkara Pemilukada, apabila dikemukakan pendampingan tersebut berada dalam ruang lingkup memberikan ‘bantuan hukum’ sebagaimana spirit dalam RUU Bantuan Hukum namun membebani ‘klien’ dengan biaya ‘honorarium’ puluhan bahkan ratusan juta. Kalau alasannya mereka yang bukan Advokat diperkenankan mewakili para pihak berperkara demi memudahkan masyarakat mengakses proses hukum di MK (karena kita kekurangan jumlah Advokat), sebenarnya tak sepenuhnya benar. Sepengetahuan Penulis memang belum ada penelitian empirisnya, namun sepertinya jikalau diperhatikan dalam perkara-perkara di MK, para pihak (pemohon) umumnya didampingi kuasa hukum yang berstatus sebagai Advokat. Oleh karena itu sebaiknya memang ke depannya hanya Advokatlah yang diperkenankan mewakili seseorang di sidang MK.

Tags: