Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana
Kolom

Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana

Perlu mekanisme kerja sama untuk menjamin kepastian hukum, keadilan,dan kemanfaatan bagi lebih banyak orang.

Bacaan 5 Menit

Ketentuan Pasal 39 ayat (2) KUHAP menegaskan apabila terdapat penyitaan karena perdata atau karena pailit maka penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dapat tetap dilakukan. Ketentuan ini menjadi landasan bahwa penyitaan oleh penyidik dapat dilakukan di atas sita umum yang dilakukan kurator. Padahal ketentuan tersebut berseberangan dengan prosedur kepailitan dalam Pasal 31 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU).

Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa sejak putusan pernyataan pailit maka segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap harta kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan. Jadi, penyitaan pidana yang dilaksanakan berdasarkan izin penetapan pengadilan (Pasal 38 KUHAP) harusnya dihentikan. Lebih jauh, Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan semua penyitaan yang telah dilakukan sebelum putusan pailit menjadi hapus dan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya.

Ada diskrepansi di antara norma KUHAP dan UU Kepailitan dan PKPU yang menyebabkan ketidakpastian penguasaan atas harta kekayaan debitur. Konsekuensinya adalah tanggung jawab atas aset debitur menjadi tidak jelas. Sebagai ilustrasi, terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang milik debitur ketika penyitaan pidana oleh penyidik terjadi bersamaan dengan sita umum oleh kurator. Akan timbul perdebatan, siapa yang harus bertanggung jawab atas risiko semacam itu?

Ketentuan Pasal 72 UU Kepailitan dan PKPU memang mengatur bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Namun, tidak rasional jika tanggung jawab tersebut dibebankan pada kurator sementara penguasaan dan pengurusan aset debitur—yang merupakan hasil kejahatan—telah diambil alih penyidik.

Disharmoni Praktik

Sita pidana terhadap harta debitur pailit secara praktik dapat mengesampingkan sita umum oleh kurator. Padahal, kewenangan penyidik maupun kurator sama-sama diatur pada tingkat undang-undang.

Argumentasi pragmatis yang umumnya diajukan ada tiga. Pertama, penyidik menjalankan fungsinya dalam penegakan hukum pidana yang merupakan rezim hukum publik. Jadi, kepailitan dalam wilayah hukum privat dapat dipinggirkan.

Kedua, KUHAP menentukan bahwa penyidik dapat menggunakan upaya paksa (pro justicia)—seperti penyitaan—dalam menjalankan kewenangannya. Ini termasuk ketika kurator hanya dapat meminta bantuan juru sita pengadilan—berdasarkan Pasal 99 UU Kepailitan dan PKPU—untuk mengamankan harta pailit.

Tags:

Berita Terkait