Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana
Kolom

Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana

Perlu mekanisme kerja sama untuk menjamin kepastian hukum, keadilan,dan kemanfaatan bagi lebih banyak orang.

Bacaan 5 Menit

Ketiga, penyidik juga diperlengkapi dengan personel dan persenjataan untuk menjalankan kewenangannya. Bahkan atas dasar obstruction of justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP, penyidik dapat langsung bertindak jika ada pihak yang menghalangi penyitaan yang dilakukannya. Hal ini dianggap berbeda dengan kurator yang tidak dilengkapi dengan berbagai kewenangan tersebut.

Apakah alasan-alasan itu bisa mengesampingkan kepentingan hukum dalam proses kepailitan begitu saja? Penulis berpendapat tidak demikian. Pertama, hukum pidana tidak selalu menjadi prioritas dalam penyelesaian permasalahan hukum di masyarakat. Prinsip ultimum remedium justru menegaskan hukum pidana sebagai sarana penyelesaian terakhir.

Mekanisme kepailitan dalam beberapa kasus malah bisa jadi lebih efektif dan efisien untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Lagi pula demarkasi hukum publik dan hukum privat pada bagian tertentu tidak lagi jelas lagi batas-batasnya seiring perkembangan masyarakat modern.

Kasus First Travel adalah contoh sanksi pidana penjara bagi para pelaku tidak menyelesaikan kerugian para kreditur yang menjadi korban. Putusan Pengadilan Negeri Depok yang dikuatkan Putusan Kasasi No. 3096K/PID.SUS/2018 tanggal 31 Januari 2019 memutuskan harta kekayaan terdakwa dirampas untuk negara.

Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali No. 365PK/Pid.Sus/2022 mengoreksinya sehingga aset terdakwa yang telah dirampas negara harus dikembalikan kepada para korban. Meski begitu, Putusan Peninjauan Kembali masih menyisakan masalah. Hukum acara pidana tidak menyediakan pedoman untuk pembagian aset dengan jumlah besar dan korban yang banyak. Kasus First Travel tercatat memiliki 63.310 korban dengan total kerugian hingga 905 milyar rupiah (hukumonline.com, 25 Januari 2023).

Kedua, penyitaan sebagai upaya paksa oleh penyidik bersifat diskresi yaitu dapat digunakan jika memang diperlukan bergantung pada urgensinya. Secara normatif penyidik tidak diwajibkan menyimpan sendiri benda sitaannya. Jangan lupa bahwa ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHAP mengharuskan benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan (Rumbasan) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, benda sitaan tidak diurus sendiri oleh penyidik. Oleh karena itu, sepanjang ada jaminan benda sitaan aman—terurus dengan baik dan mudah diakses untuk kepentingan pembuktian pidana—maka barang milik debitur pailit dapat tetap diurus oleh kurator di bawah sita umum.

Ketiga, kepailitan memang didesain untuk menyelesaikan kewajiban debitur kepada lebih dari satu kreditur. Pemulihan kerugian (utang) dalam jumlah besar pada korban (kreditur) yang banyak akan jauh lebih efektif dengan kepailitan alih-alih mekanisme pidana. Ada sejumlah prinsip seperti paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata), pari passu prorate parte, debt collection, serta prinsip publisitas yang menjadi pedoman jelas dalam penyelesaian kerugian bagi kreditur yang juga menjadi korban tindak pidana. Pedoman ini tidak tersedia dalam mekanisme hukum acara pidana.

Tags:

Berita Terkait