Mereposisi Status Hakim yang Ideal, Cermati secara Mendalam!
Fokus

Mereposisi Status Hakim yang Ideal, Cermati secara Mendalam!

Ada yang berpendapat sebaiknya hakim tetap sebagai pejabat negara, diubah menjadi pejabat negara tertentu, dibagi dua menjadi PNS dan pejabat negara, disebut pegawai yudisial, pejabat negara khusus, dan hakim saja tanpa perlu diberi embel-embel pejabat negara atau PNS.

NOVRIEZA RAHMI/AID
Bacaan 2 Menit
Sumber : Laporan Tahunan MA 2016

Begitu pula dengan kendaraan dinas. Tahun 2016 tidak ada penambahan. Pengadaan kendaraan dinas jabatan juga hanya diprioritaskan untuk kendaraan Ketua Pengadilan dan kendaraan operasional untuk menunjang mobilitas pejabat peradilan guna mendukung pelayanan diperlukan kendaraan dinas jabatan dan kendaraan dinas operasional.

Jumlah Kendaraan dinas jabatan dan operasional roda empat (R4) dan roda dua (R2) TA 2014 sampai dengan TA 2016 :
No Satuan Kerja 2014 2015 2016 Jumlah
R4 R2 R4 R2 R4 R2 R4 R2
1 Pusat 299 143 0 0 0 0 299 143
2 Peradilan Umum 1.957 11.232 22 21 0 0 1.979 11.253
3 Peradilan Agama 1.322 7.876 36 19 0 0 1.358 7.895
4 Peradilan TUN 256 1.514 1 3 0 0 257 1.517
5 Peradilan Militer 73 497 - 1 0 0 73 498
Jumlah 3.907 21.262 59 44 0 0 3.965 21.306
Sumber : Laporan Tahunan MA 2016

Menimbang status hakim yang ideal dan aplikatif?
Dengan realita dan problematika yang ada, Suhadi berpendapat, lebih ideal jika status hakim disebut bukan sebagai pejabat negara, melainkan "pejabat negara tertentu". Ada beberapa pertimbangan, antara lain karena hakim memiliki tata cara perekrutan tersendiri yang berbeda dengan pejabat negara.

"Hakim itu baru bisa jadi hakim ketika diusulkan oleh Ketua MA kepada presiden untuk jadi hakim. Salah satu syaratnya adalah mengikuti pendidikan hakim. Pendidikan hakim ini 2,5 tahun, diterapkan selama ini, dua generasi terakhir. Kemudian, di situ sudah jelas, pendidikan hakim dilakukan oleh MA dan perguruan tinggi negeri atau swasta yang terakreditasi A," terangnya.

Di lain pihak, Karjono mengaku belum dapat menyimpulkan status seperti apa yang ideal bagi hakim. Namun, ia mengungkapkan, setelah RUU Jabatan Hakim ditetapkan sebagai inisiatif DPR dan disampaikan ke pemerintah, Ditjen PP mengundang kementerian/lembaga terkait, termasuk MA, KY, Kejaksaan, Kepolisian untuk sama-sama memikirkan solusinya.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan. Pertama, status hakim sebagai pejabat negara dipertahankan, tetapi konsekuensinya hakim-hakim di daerah juga harus diberikan fasilitas seperti pejabat negara. Begitu pula dengan rekrutmennya yang harus seperti pejabat negara (umumnya). Model seperti ini dinilai cukup sulit untuk diterapkan, sehingga muncul solusi kedua.

Solusi kedua, sambung Karjono, status hakim dibagi menjadi dua, yaitu pejabat negara tertentu untuk hakim di bawah MA dan pejabat negara untuk hakim di MA. Artinya, wacana ini cukup sesuai dengan mandat dari beberapa regulasi yang meng-cover kebutuhan hakim sebagai pejabat negara. "Alternatif solusinya seperti itu," tuturnya.

Solusi ketiga, hanya hakim MA yang berstatus pejabat negara, sedangkan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berstatus PNS. Karjono menjelaskan, solusi ini muncul karena hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menerapkan pola karir, sehingga juga tidak cocok dengan pola pejabat negara maupun pejabat negara tertentu.

"Makanya ada wacana juga waktu kita diskusi. Oh, ini hakim agung sebaga pejabat negara, hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi itu PNS. Sebab, saat (berstatus) PNS, mudah. Rekrutmennya mudah, dia harus CPNS dulu, kemudian dia PNS, setelah itu dia calon hakim (cakim), dari cakim pendidikan hakim, yang lulus diangkat menjadi hakim," bebernya.

"Jadi, polanya mungkin perlu kita omong-omongin, tapi itu dengan DPR nanti. Tapi, konsepnya kemarin, disepakati bahwa pejabat negara tertentu," imbuhnya.

Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil memiliki pandangan berbeda terkait status hakim. Menurutnya, status hakim sebagai pejabat negara atau PNS tidak relevan untuk dipermasalahkan. Justru yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana pengaturan kewajiban pemenuhan hak-hak hakim.

Ia mengakui, meski nominal gaji hakim sudah relatif lebih baik dari sebelumnya, sistem penggajian dan kepangkatan hakim masih mengikuti PNS. Dari segi pemenuhan gaji dan tunjangan jabatan hakim mungkin relatif lebih baik, tetapi bagaimana dengan pemenuhan hak lain, fasilitas, dan jaminan?

"Kalau hak-hak lainya disitu diatur lebih lanjut, apa masalahnya, itu yang keliru. Akhirnya hakim hanya mendapatkan gaji dan tunjangan seperi di PP No.94Tahun 2012, dan tidak jelas siapa yang mempunyai kewajiban menyediakan hak-hak lain, seperti hak perumahan, kesehatan. Dan ini yang harusnya diselesaikan," katanya kepada hukumonline.

Arsil melanjutkan, apapun status hakim, idealnya hakim membutuhkan fasilitas dan jaminan keamanan. Intinya, kalau mau disebut pejabat negara, harus dilihat dulu karakternya. Pasalnya, pejabat negara tidak memerlukan sistem pembinaan dan sistem karir, atau dengan kata lain tidak ada mutasi, promosi, evaluasi kinerja, dan melibatkan harapan politik.

"Nah, sebetulnya apa statusnya yang lebih tepat terhadap hakim? Ya, hakim itu sendiri. Statusnya, kalau menurut kami, kenapa harus terjebak dengan status itu. Status kepegawaian hakim, ya hakim saja. Jadi, dia di luar skema UU ASN, karena UU ASN hanya mengatur soal pegawai negeri sipil. Bahkan, dalam UU ASN, Polri dan TNI sudah dikeluarkan dari situ," katanya.

Jadi, jika berbicara status yang ideal bagi hakim, Arsil lebih memilih agar hakim tidak perlu diberi status PNS maupun pejabat negara, tetapi cukup "hakim". Sama halnya seperti Polri dan TNI. "Ada tiga kan sekarang ini, ada Polri, TNI dan pegawai negeri (ASN). Atas dasar itu kenapa tidak dibikin empat. Jadi, Polri, TNI, ASN, dan hakim," usulnya.

Dari situ, Arsil menilai, jabatan hakim akan mempunyai sistem sendiri. Sistemnya seperti apa itu? Itu persoalan nomor dua. Terpenting adalah jabatan hakim memiliki rezim pengaturan sendiri, dan itu sebenarnya yang ingin diatur dalam RUU Jabatan Hakim. Apabila jabatan hakim membutuhkan sistem kepangkatan, dapat dibuat aturan pelaksanaannya.

Masukan lain datang dari hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Jakarta Pusat, Yohanes Priyana. Ia berpendapat, lebih baik hakim disebut sebagai pejabat yudisial. Sementara, perangkat lain, seperti panitera pengganti dan juru sita disebut pegawai yudisial. Penyebutan ini mengacu pada pemisahan tiga bidang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Yohanes berpendapat, penyebutan pejabat yudisial lebih baik karena hakim memiliki kekhususan, terutama mengenai sistem kerja dan karier hakim. Hakim tidak memiliki aturan jam kerja seperti PNS, sehingga ketika harus bersidang sampai malam pun, hakim tidak mendapatkan hitungan lembur. Selain itu, administrasi peradilan berbeda dengan kementerian.

Sebenarnya, terkait "Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara", Puslitbang Kumdil MA pada 2015 pernah menerbitkan hasil pengkajian. Tak hanya MA, tahun 2000, pasca terbitnya UU No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.8 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mendudukan hakim sebagai pejabat negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pernah menerbitkan penelitian tentang "Aspek Hukum Kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara".

Berikut beberapa inti sari kesimpulan pengkajian Puslitbang Kumdil MA tahun 2015 tentang "Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara". Dimana, salah satunya menyarankan agar hakim diberikan status sebagai "pejabat negara khusus":
No Kesimpulan Kajian Puslitbang Kumdil MA
1 Kekhususan jabatan hakim sebagai pejabat negara ini merupakan konsekuensi dasar dari eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Oleh karena itu, secara fundamental harus diakomodasi dalam pengaturan mengenai manajerial.
2 Diperlukan sistem manajemen jabatan hakim sebagai pejabat negara yang "khusus" (bukan "tertentu" sebagaimana pernah diterapkan oleh UU No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian).
3 Kekhususan dari jabatan hakim ini sesuai dengan identitas hakim sebagai "pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman" seperti yang dikehendaki oleh UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4 Berdasarkan hal itu, maka rekonstruksi dan reformulasi jabatan hakim UU yang bersifat khusus, yaitu UU Jabatan Hakim cukup penting keberadaannya.
5 Kerangka hukum yang ada pada saat ini belum sepenuhnya mampu mengatur secara tepat, lengkap, dan implementatif menyangkut status hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman. Misalnya, terkait sistem kepangkatan dan penggolongan bagi hakim yang nantinya akan berkaitan dengan masalah rekrutmen, pengangkatan, pembinaan, sistem, serta pola promosi dan mutasi hakim untuk menentukan kelas-kelas pengadilan-pengadilan yang ada.
6 Tidak harus ditetapkan sama persis dengan sistem dan pola kepangkatan PNS. Namun, sistem dan pola kepangkatan yang spesifik bagi hakim tetap perlu untuk dirumuskan tersendiri di kemudian hari.
7 RUU Jabatan Hakim menjadi momentum yang tepat untuk mendukung pengaturan sistem manajemen jabatan hakim yang khusus, integral, dan komperhensif, sehingga independensi kekuasaan kehakiman terjaga dan terpelihara dari segala potensi campur tangan pihak intra maupun ekstra yudisial.
8 Implikasi dari adanya UU tentang Jabatan Hakim ini nantinya bukan semata untuk kepentingan hakim a quo, MA, atau lembaga peradilan, tetapi akan berdampak pada semakin baiknya kualitas pelayanan keadilan yang akan diselenggarakan oleh hakim
9 Semakin kuat dan terjaganya independensi yudisial melalui berbagai realisasi hak dan fasilitas keamanan, serta jaminan perlindungan profesi senyatanya akan membantu mewujudkan imparsialitas dan profesionalisme hakim.
10 Selain itu, melalui sistem pengelolaan jabatannya yang independen dan tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan lain (ekstra yudisial) dengan tetap menyelenggarakannya secara transparan dan akuntabel, serta partisipatif akan berimplikasi pada tumbuhnya kepercayaan publik terhadap hakim a quo pengadilan, sehingga badan peradilan yang agung (sebagaimana visi dan misi MA) akan terwujud.






hukumonline Baca Juga: Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

"Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang"

"Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung".

ad hoc,





Baca Juga: Persoalan Ini Jadi Penghambat Rekutmen Calon Hakim











"kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang."







UU Kekuasaan Kehakiman dan Perubahannya
UU No.19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/Lembaga)
Pasal 7
(1) Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara

(2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.

(3) Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat (1) di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata
UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/Lembaga. Namun, disebutkan di situ, Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara)
Pasal 10
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan; 
a. Peradilan Umum;  b. Peradilan Agama;  c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 11
(1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan

Pasal 31
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.

Pasal 32
Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan tersendiri.

Penjelasan Pasal 31 :
 Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya.

Penjelasan Pasal 32 :
Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugasnya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung-jawabnya.
UU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1970
(Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA)
UU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1970
(Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA)
***

Pasal 11
(1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatori, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing.

Pasal 11 A
(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara, tetapi hakim disebut sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sudah ada pengalihan badan-badan peradilan  ke MA)
Pasal 31
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 43
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) :
a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;

Pasal 44
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):
a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;

Pasal 45 
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) :
a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;
b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung
UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Pertama kali di UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat negara)
Pasal 19
Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 31
(1) Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Tags:

Berita Terkait