Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam
Utama

Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam

Dengan menyepakati pembahasan revisi UU KPK usulan dari DPR, Presiden dinilai melanggar poin 4 Nawa Cita.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Dalam rangka memperkuat dan meningkatkan pencegahan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penguatan sinergisitas proses penegakan hukum oleh KPK, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU KPK. Pemerintah, sependapat dengan DPR dalam merevisi UU KPK,” tutur Yasonna saat membacakan pertimbangan DIM pembahasan RUU KPK.

 

Meski begitu, dari materi muatan RUU KPK sebagai usul inisiatif DPR ini, Presiden hanya menyetujui empat poin yang layak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Pertama, pengangkatan Dewan Pengawas sebagai pengawasan internal yang menjadi kewenangan Presiden melalui Panitia Seleksi (Pansel). Presiden memandang keberadaan Dewan Pengawas penting demi terciptanya check and balance, transparansi, dan akuntabilitas.

 

Misalnya, lembaga negara, seperti presiden diawasi DPR dan BPK, MA diawasi KY, bekerja dengan prinsip check and balances, saling mengawasi. Hal ini dibutuhkan meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan. Nantinya, Dewan Pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi, atau pegiat antikorupsi, bukan politisi, bukan birokrat atau aparat penegak hukum aktif. Bagi pemerintah, kata Yasonna, pengangkatan Dewan Pengawas melalui Pansel tetap membuka partisipasi publik terkait rekam jejak para calonnya.

 

Kedua, perlu keberadaan penyelidik dan penyidik independen di luar penyidik Polri dan Kejaksaan. Demi menjaga penegakan hukum tipikor berkesinambungan, perlu membuka ruang dan mengakomodir penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN) dengan tetap memperhatikan standar kompetensi dan kelulusan diklat. Dalam draf RUU KPK ini, pemerintah mengusulkan agar ada rentang waktu selama dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik dalam status ASN.

 

Ketiga, penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Dalam putusan Mähkamah Könstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 menyebutkan KPK sebagai lembaga penunjang terpisah dan independen, sehingga masuk ranah kekuasaan eksekutif. Alasannya, KPK selama ini menjalankan fungsi eksekutif, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana fungsi ini dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan. Meski masuk ranah eksekutif, kata Yasonna, pelaksanaan tugasnya bersifat independen, bebas dari pengaruh pihak manapun.

 

Keempat, perlu mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi menghormati prinsip hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum. Hanya saja, jika RUU KPK usulan DPR memberi batas waktu maksimal 1 tahun bisa mengeluarkan SP3, pemerintah mengusulkan menjadi 2 tahun supaya memberi batas waktu yang memadai bagi KPK menggunakan kewenangan ini.  

 

Pemerintah pun mengusulkan beberapa perubahan substansi, seperti koordinasi penuntutan (KPK dan Kejaksaan), penyebutan istilah atau terminologi lembaga penegak hukum, pengambilan sumpah dan janji ketua dan anggota Dewan Pengawas, dan kewenangan pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang sebaiknya tetap berada di KPK. “Nanti pemerintah bakal memberi tanggapan menyeluruh yang dituangkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait