Pendidikan Profesi Hakim Pengaruhi Kualitas Putusan
Reformasi Peradilan:

Pendidikan Profesi Hakim Pengaruhi Kualitas Putusan

Putusan dibuat berdasarkan berbagai pengetahuan yang diperoleh hakim. Pengetahuan bisa di dapat salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Ditambahkan Agung, pendidikan dan pelatihan yang dijalankan calon hakim sudah mengalami perbaikan dari masa sebelumnya saat dia menjadi calon hakim tahun 1984 yang hanya mengikuti pendidikan selama 8 bulan. Singkatnya masa pendidikan dan pelatihan saat itu membuat calon hakim tidak bisa merasakan bagaimana menjadi panitera pengganti dan asisten hakim.

 

Ketika menjadi hakim, pendidikan dan pelatihan masih terus dilakukan. Agus menjelaskan ada pendidikan hakim berkelanjutan tahap I dan II. Pada tahap I, ditujukan bagi hakim dengan masa kerja 0-5 tahun, materi yang diajarkan mengenai kode etik perilaku hakim. Kemudian bagaimana membuat putusan berkualitas dan manajemen alur perkara. Hakim dalam memeriksa perkara harus mampu membuat kalender persidangan yang terbaik sehingga keadilan yang diberikan kepada masyarakat tepat pada waktunya.

 

Hakim dengan masa kerja 6-10 tahun bisa mengikuti pendidikan tahap II. Materi yang diberikan mengenai teknis fungsional seperti pendidikan hukum terkait perkara narkotika, forensik komputer, kesetaran gender dan lainnya. Terakhir, pendidikan tentang kehumasan dan sertifikasi. Sertifikasi ini perlu karena perintah UU semisal UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengharuskan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara memiliki sertifikasi hakim anak. “Itulah tugas kami, meningkatkan kapasitas SDM dengan cara menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan baik sebelum dan selama menjadi hakim,” ujar Agus.

 

(Baca juga: Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Anak)

 

Penasihat senior program SUSTAIN EU-UNDP, Gilles Blanchi, mengatakan lembaganya sudah membantu hakim di Indonesia untuk mendapat pendidikan spesialisasi atau sertifikasi sejak 2014. Kerjasama yang telah dijalin antara lain dengan pengadilan perikanan, anak, dan TUN. Sertifikasi ini penting karena perkara yang ditangani untuk masing-masing bidang itu punya kekhususan dan rumit. Misalnya, pendidikan sertifikasi bagi hakim untuk menangani sengketa pemilu.

 

Selain hakim, pendidikan dan pelatihan menurut Gilles juga perlu diberikan kepada panitera pengganti. “Ini penting untuk mencegah korupsi di sektor peradilan karena panitera pengganti adalah pihak pertama yang ditemui pencari keadilan,” tukasnya.

 

(Baca juga: 39 Hakim Dikirim ke Arab Saudi Belajar Ekonomi Syariah)

 

Gilles melihat praktik baik di Indonesia yakni hakim agung bisa menjadi guru besar di perguruan tinggi. Bahkan hakim agung yang sudah pensiun banyak juga yang kembali ke kampus untuk mengajar. Di negaranya (Perancis), kesempatan itu sangat kecil. Praktik baik ini menurut Gilles bisa menjadi diikuti negara lain.

 

Senior Course Manager International Affair Studiecentrum Rechtspleging (SSR) Belanda, Anne Tahapary, mengatakan lembaganya melatih hakim, jaksa, dan staf administrasi. Khusus untuk hakim ada pelatihan berkelanjutan yang saat ini memiliki 1.500 jenis pelatihan yang bisa dipilih. Baik hakim dan jaksa di Belanda harus mengantongi sertifikasi untuk menangani perkara tertentu misalnya lingkungan, pailit dan lainnya. “Hakim di Belanda harus mendapat pelatihan 30 jam setiap tahun,” urainya.

Tags:

Berita Terkait