Pengaturan Tentang Kekayaan yang Diperoleh Secara Tidak Sah (Illict Enrichment)
Kolom

Pengaturan Tentang Kekayaan yang Diperoleh Secara Tidak Sah (Illict Enrichment)

Sebagai salah satu strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Bacaan 2 Menit

 

Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.

 

(Dengan memperhatikan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu, untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan penghasilannya yang sah).

 

Ketentuan ini bertujuan agar perbuatan yang dengan sengaja memperkaya diri, sehingga memiliki jumlah kekayaan yang tidak wajar jika dihubungkan dengan penghasilannya yang sah, dan tidak bisa dijelaskan atau dibuktikan sebaliknya (bahwa kekayaan tersebut diperoleh secara sah), bisa ditetapkan sebagai suatu tindak pidana. Sehingga atas dasar itu, negara dengan mudah merampas kekayaan tersebut.

 

Rumusan tindak pidana dan konsep pembuktian terbalik yang disarankan dalam Pasal 20 UNCAC 2003 ini, berbeda dengan ketentuan Pasal 37 A UU Tipikor yang mengatur sebagai berikut:

 

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau koorporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

 

(2) Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

 

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait