​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)
Kolom

​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)

​​​​​​​Terdapat beberapa hikmah dari peristiwa ini.

Bacaan 2 Menit

 

Selain dapat diberhentikan secara hormat, Hakim Konstitusi juga dapat diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan 8 alasan yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK beserta tahapan mekanismenya yang diatur dalam ayat-ayat berikutnya dalam Pasal tersebut.

 

Adapun jika yang diharapkan dari seorang Arief Hidayat adalah mundur sebagai Ketua MK maka pihak yang memiliki legal standing untuk hal itu hanyalah para hakim konstitusi. Namun secara normatif sulit menemukan celah hukum, baik dalam UU MK maupun dalam “Sapta Karsa Hutama” (PMK Kode Etik), yang memungkinkan impeachment Ketua MK atau setidaknya mekanisme “mosi tidak percaya” mayoritas para hakim konstitusi kepada Ketua MK di tengah masa jabatannya.

 

Dalam konteks ini, Pembentuk UU MK dan penyusun PMK Kode Etik nampak berprasangka baik bahwa potensi persoalan semacam ini dapat diselesaikan dengan bijaksana mengingat pola relasi sesama Hakim Konstitusi bersifat kolektif kolegial.

 

Satu hal menarik dalam Pembukaan “Sapta Karsa Hutama” sebagai Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006/ tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (PMK Kode Etik) ini disebutkan bahwa “Sapta Karsa Hutama” dibuat untuk membantu masyarakat pada umumnya termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan lain, agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi MK.

 

Frasa “agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi MK” dapat dimaknai bahwa Sapta Karsa Hutama sejatinya merupakan instrumen proteksi diri (self-protection) bagi MK agar tidak mudah diserang (khususnya serangan terhadap independensi Hakim Konstitusi) oleh kepentingan pihak eksternal (baik masyarakat pada umumnya, termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan lain).

 

Sebab diakui pula dalam Sapta Karsa Hutama tersebut bahwa tantangan dan ‘potensi serangan’ terhadap independensi hakim Konstitusi dapat muncul dalam berbagai bentuk, antara lain “…bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya” (garis bawah dari Penulis).

 

Dengan masih tetap berprasangka baik atas ketulusan Sdr. Abdul Ghoffar Husnan dalam mencintai MK dan bangsa Indonesia, Penulis berpendapat bahwa pernyataan sikap pribadi sahabat Abdul Ghoffar Husnan secara tertulis dan terbuka sangat rentan dan sensitif ditunggangi oleh kepentingan “kelompok atau golongan tertentu” di luar kendali Sdr. Abdul Ghoffar Husnan.

Tags:

Berita Terkait