Dalam konteks ini, DPR/Pemerintah seharusnya peka untuk segera menghapus norma pengaturan mengenai periodisasi jabatan hakim konstitusi, sebab pernah MK ‘diberi kesempatan’ untuk menyatakan norma a quo inkonstitusional (vide Putusan MK No. 73/PUU-XIV/2016), namun MK secara bulat memilih untuk menerapkan prinsip “membatasi diri” (judicial restraint) dengan memutus bahwa pemohon tidak memiliki legal standing sehingga dalam amar putusan tersebut dinyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima.
Terdapat beberapa hikmah dari peristiwa ini, antara lain: 1). Penulis sepakat dengan pendapat Sdr. Abdul Ghoffar Husnan bahwa Dewan Etik seharusnya diperkuat; 2). Secara normatif, jabatan Hakim Konstitusi sebaiknya tidak lagi diatur dalam sistem periodisasi (period), melainkan diatur masa jabatan yang relatif panjang dan tidak dapat dipilih kembali, dengan syarat: usia minimal saat pengangkatan ditingkatkan; 3). Substansi dan strategi dalam menyampaikan suatu gagasan adalah sama pentingnya. Substansi yang baik, namun disampaikan dengan strategi yang berisiko tinggiditunggangi kepentingan pihak lainhanya akan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar.
*)Alfin Sulaiman (pendapat pribadi). Alumni Bimtek Mahkamah Konstitusi tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Bagi Pengacara/Advokat, Cisarua, Bogor, Tahun 2017.
Catatan Redaksi: Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline |