​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)
Kolom

​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)

​​​​​​​Terdapat beberapa hikmah dari peristiwa ini.

Bacaan 2 Menit

 

Dengan semakin disadari besarnya kewenangan dan luasnya dampak dari suatu Putusan MK maka seiring waktu berjalan semakin banyak “kelompok atau golongan tertentu” yang sangat berkepentingan atas komposisi dan konfigurasi hakim konstitusi. Beberapa isu-isu krusial (hard cases) dalam perkara constitutional review suatu UU/Perppu di MK, terlebih lagi soal sengketa hasil Pilkada atau menjelang Pilpres 2019, komposisi dan konfigurasi hakim konstitusi jelas sangat diperhitungkan oleh para calon pemohon yang akan berperkara di MK.

 

Dalam konteks sistem ketatanegaraan Amerika Serikat misalnya, sangatlah berisiko bagi seorang Presiden Amerika Serikat untuk memilih Hakim Agung yang memiliki filosofi dan paradigma hukum berbeda dengan kepentingan pribadi atau partai politiknya. Bahkan dalam film The Pelican Brief secara fiksi digambarkan bahwa suatu korporasi perminyakan harus mengambil kebijakan untuk membunuh 2 (dua) orang Hakim Agung hanya karena keduanya dianggap memiliki filosofi dan paradigma hukum yang lebih condong pada konservasi lingkungan ketimbang berpihak pada investasi dan iklim usaha perminyakan agar Presiden dalam film tersebut dapat segera melantik Hakim Agung dari suatu proses nominasi yang “disponsori” oleh korporasi tersebut.

 

Selain masih bersifat sumir (apakah Arief Hidayat diminta mundur sebagai Ketua MK atau diminta mundur sebagai Hakim Konstitusi?), desakan dan harapan segelintir masyarakat, baik individual maupun berkelompok, tersebut juga sarat dengan nuansa conflict of interest. Sebab banyak di antara mereka, baik secara individu maupun elit kelompok, secara normatif telah memenuhi syarat sebagai calon Hakim Konstitusi dan tidak jarang pula individu dan kelompok tersebut merupakan pihak-pihak yang acapkali berperkara di MK, baik dalam kapasitas pemohon, kuasa hukum, ahli, ataupun pihak terkait.

 

Singkat kata, desakan dan harapan agar Arief Hidayat mundur yang dilakukan oleh Sdr. Abdul Ghoffar Husnan yang kemudian mendapat dukungan dari segelintir masyarakat, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, nampak sumir dan patut diduga “salah alamat”. Sebab jika hal itu yang diinginkan maka desakan dan harapan itu seharusnya dialamatkan kepada DPR sebagai lembaga pengusul Arief Hidayat untuk tidak lagi memilih yang bersangkutan sebagai Hakim Konstitusi.

 

Namun ternyata DPR sebagai lembaga pengusul Arief Hidayat sebagai Hakim Konstitusi justru memilih kembali yang bersangkutan untuk periode kedua. Jika hal ini telah tejadi maka menurut pendapat Penulis, Presiden pun secara administratif tidak kuasa untuk (misalnya) tidak menandatangani Keputusan Presiden atas nama seseorang untuk mengemban amanah sebagai Hakim Konstitusi manakala lembaga pengusul (in casu: DPR) telah menyetujui yang bersangkutan sebagai Hakim Konstitusi.

 

Soal pelanggaran etik kedua yang telah diputus oleh Dewan Etik terhadap Hakim Konstitusi Arief Hidayat merupakan pelanggaran etik yang dilatarbelakangi suatu peristiwa politik yang tentunya kental dengan nuansa politis sehingga jelas menjadi tidak fair jika dikomparasikan dengan mundurnya beberapa Hakim Konstitusi (misalnya Arsyad Sanusi atau Jimly Asshiddiqie) yang jelas berbeda latar belakang ceritanya.

 

Secara reflektif, pertemuan antara Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan beberapa anggota Komisi III DPR di suatu hotel di Jakarta jelas merupakan peristiwa politik yang hanya mungkin terjadi sebagai ekses negatif dari lalainya kita sebagai suatu negara hukum dalam menjaga intitusi MK dengan tetap mempertahankan aturan mengenai periodisasi jabatan Hakim Konstitusi.

Tags:

Berita Terkait