Tantangan dan Peluang Advokat Indonesia dalam Perekonomian Global Terkait Artificial Inteligence
Kolom

Tantangan dan Peluang Advokat Indonesia dalam Perekonomian Global Terkait Artificial Inteligence

Perekonomian global ternyata tidak hanya telah membuktikan kedigdayaannya dengan menciptakan pasar dan aktivitas bisnis global di dunia nyata, akan tetapi juga di dunia maya.

Bacaan 2 Menit

 

Jawabnya, “tentu masih dibutuhkan”. Advokat adalah profesi yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh AI. Sebagai profesi yang terhormat (noble profession), kemampuan manusia sebagai pemilik inteligensia dan jiwa yang sempurna tidak dapat tergantikan seluruhnya oleh AI. Pada satu tahapan memberian jasa hukum, seperti yang telah dijelaskan di atas, memang akan memungkinkan diambil alih AI melalui proses otomasi. Tetapi, pada tingkat pemberian jasa hukum yang membutuhkan akurasi dan tingkat profesionalitas penanganan yang tinggi, misalnya pendampingan pelaku usaha dalam proses pembangunan usahanya sejalan dengan ketentuan hukum, pendampingan atau mewakili pelaku usaha  dalam bernegosiasi, mewakili pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa baik di dalam maupun di luar pengadilan (atau melalui alternatif penyelesaian sengketa), tidak memungkinkan sepenuhnya digantikan oleh AI.

 

Hal yang menjadi poin adalah walaupun profesi advokat tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh AI, harus pula dicatat bahwa bagian-bagian pelayanan jasa hukum yang telah memungkinkan untuk diambil alih AI juga tidak kecil. Ini juga telah mengakibatkan tantangan pasar pelayanan jasa hukum (legal services) yang tidak mudah bagi para advokat, antara lain, sebagai berikut:

  1. Peran advokat yang sebelumnya sangat sentral dalam penerjemahan istilah-istilah hukum dan bisnis, atau penjelasan tentang undang-undang, atau peraturan perundang-undangan, semakin hari semakin menurun. Misalnya dengan kehadiran mesin Google dan software AI lainnya.
  2. Kehadiran AI yang, paling tidak telah mengambil alih peran-peran pekerjaan (pemberian jasa pelayanan hukum) yang bersifat terukur dan terstruktur oleh muatan data besar yang secara algoritma meresponnya, membuat pola-pola pelayanan hukum menjadi lebih efisien, cepat dan terukur, sehingga akan lebih murah.
  3. Selain menghasilkan bentuk-bentuk pelayanan yang lebih cepat, terukur dan lebih murah, keadaan tersebut akan secara sangat signifikan mempengaruhi dasar rekrutmen “sarjana-sarjana hukum atau advokat-advokat muda” di kantor-kantor hukum, khususnya kantor-kantor hukum besar yang lebih menekankan pemberian jasa pada hukum-hukum korporasi yang bersifat non litigasi, karena kantor-kantor hukum besar cenderung akan membeli teknologi software AI.
  4. Walaupun saat ini belum terlalu menyentuh kantor-kantor hukum yang berbasis litigasi saat ini, akan tetapi secara perlahan, era digital dan kekuatan AI akan semakin memasuki format pelayanan hukum di bidang litigasi, karena pengadilan-pengadilan (termasuk juga penyelesaian sengketa melalui arbitrase) juga sudah mulai menggunakan teknologi digital dengan pola interaksi yang semakin mengarah on line, termasuk juga pada tahapan-tahapan penanganan sengketa.

 

Beberapa catatan di atas tidak akan berguna jika hanya dilihat sebagai suatu ancaman. Sebaliknya, catatan itu harus dilihat sebagai tantangan untuk menciptakan peluang-peluang baru bagi profesi advokat, khususnya bagi para advokat Indonesia ke depan. Artinya, advokat-advokat Indonesia harus sangat memahami bahwa, suka atau tidak suka, dunia pelayanan hukum Indonesia akan semakin terkoneksi dengan standarisasi pelayanan hukum global yang menjadi dasar anutan dari pelaku-pelaku bisnis global, lembaga-lembaga profesi dan pemeringkatan serta lembaga-lembaga keuangan global. Indonesia sebagai bagian dari global investment destination tentulah tidak dapat dengan begitu saja menyatakan penolakan ataupun penundaan terhadap standar penerapan dan kualitas pelayanan hukum global tersebut.

 

Menjadi sangat penting untuk mengingat kembali nasihat dari Prof. Sunaryati Hartono, yang menekankan bahwa globalisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin untuk ditolak, atau ditunda kehadirannya. Menurut ahli Hukum Perdata Internasional ini,  di satu sisi, tindakan yang terbaik dari suatu negara adalah sedini mungkin mempersiapkan diri untuk dapat secara maksimal menikmati setiap kebaikan-kebaikan yang diciptakan oleh globalisasi ketika hadir. Di sisi lain, secara maksimal juga siap untuk mengantisipasi setiap efek negatif yang diciptakannya. Nasihat ini harus tertanam kuat tidak hanya pada para advokat dan setiap aparatur negara Indonesia, tetapi juga secara khusus pada cara pandang dan sikap bergerak dari setiap perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang memiliki Fakultas Hukum.

 

Semua Fakultas Hukum di Indonesia harus memahami secara sungguh-sungguh konsekuensi dari kehadiran AI-- yang semakin hari semakin menyempurnakan kekuatannya mendekati kesempurnaan manusia -- untuk secara sungguh-sungguh pula membangun kualitas kurikulum pendidikan yang benar-benar mampu menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang mampu bersaing. Persaingan advokat-advokat Indonesia ke depan, tidak sekadar persaingan yang timbul dari kehadiran AI, tetapi juga persaingan yang timbul dari kehadiran advokat asing dalam profesi pelayanan jasa hukum pada aktivitas bisnis di Indonesia. Oleh karena itu, tidak bisa dihindarkan bahwa fakultas-fakultas hukum Indonesia haruslah:

  1. Tidak hanya memahami, tetapi juga harus akrab dengan setiap tahap perkembangan era digital, dan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum yang wajib untuk dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa hukum Indonesia.
  2. Membangun kurikulum pendidikan yang tidak hanya berbasis pengajaran pada ilmu hukum semata, tetapi juga pemahaman terhadap ilmu-ilmu lainnya. Misalnya ilmu ekonomi, moneter, akuntansi, sosiologi dan budaya dengan sangat baik, tidak hanya sekadar pelengkap.
  3. Mewajibkan pemahaman yang sangat baik terhadap penggunaan bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, karena gerakan global revolusi industri 4.0 akan membuat lulusan-lulusan Sarjana Hukum Indonesia tidak akan berdaya global jika tidak memahami bahasa Inggris, sebaik bahasa Indonesia.
  4. Membangun perpustakaan digital (digital library) dengan kapasitas informasi dan ketersediaan ilmu yang maksimum dan mudah diakses.
Tags:

Berita Terkait