​​​​​​​Terbukti Novum Palsu, Bisa Menjadi Dasar Pengajuan PK Kedua
Landmark Decisions MA 2017

​​​​​​​Terbukti Novum Palsu, Bisa Menjadi Dasar Pengajuan PK Kedua

Putusan ini warning bagi PTUN untuk lebih berhati-hati menerima novum. PK kedua sudah berkali-kali diputus Mahkamah Agung.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dalam pertimbangannya majelis PK kedua berpendapat PK kedua itu bisa diterima karena terdapat dua putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap yang bertentangan. Putusan yang dimaksud yakni putusan MA No. 1122 K/Pid/2015 juncto putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 120/Pid/2015/PT.BDG juncto putusan Pengadilan Negeri Bandung No.  1530/Pid.B/2014/PN.BDG.

 

Majelis dalam putusan perkara pidana di PN Bandung itu menyatakan Ridha Faridha Rukmiati Siti Jubaedah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menggunakan surat palsu atau dipalsukan. Majelis PK kedua mencatat ada 3 surat yang dipalsukan. Pertama, putusan PN Bandung No 11.48 tanggal 16 September 1948. Kedua, penetapan Ketua PN Bandung No 11/1948 juncto 234/1954 juncto 437/1954 tertanggal 25 Juli 1971. Ketiga, keterangan panitera PN Bandung No 16/1967 tanggal 10 Agustus 1967.

 

Ketiga surat yang dipalsukan itu dijadikan dasar majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk memutus putusan MA No. 35 PK/TUN/2009 tertanggal 15 September 2009. Majelis PK kedua menggunakan hal itu sebagai dasar untuk membatalkan putusan PK kesatu dan mengabulkan PK kedua. “Mengadili: mengabulkan permohonan PK dari pemohon PK kedua Kepala Kantor Pertanahan Bandung tersebut; membatalkan putusan MA Nomor 35 PK/TUN/2009 tertanggal 15 September 2009,” begitu kutipan putusan PK kedua.

 

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan putusan PK kedua itu layak untuk masuk dalam landmark decisions MA, meskipun sebenarnya sudah pernah ada putusan sejenis: PK kedua. Menurut dia, pelajaran penting yang patut dicatat dari putusan PK kedua itu antara lain pengadilan TUN harus lebih hati-hati menerima dan menilai suatu novum, jangan sampai kecolongan menerima bukti palsu. Menurutnya pemeriksaan yang dilakukan selama ini sekadar formil bukan materil. Perlu diingat, novum yang dimaksud itu adalah bukti yang sama sekali belum pernah digunakan. Menurut Chudry, doktrin atau pandangan mengenai penggunaan novum masih beragam. Pada hakikatnya novum adalah bukti lama yang baru ditemukan ketika perkara sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Hukumonline.com

 

Chudry mengatakan, MA telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2009 yang menjelaskan permohonan PK dalam suatu perkara yang sama hanya boleh satu kali. Untuk permohonan PK lebih dari sekali ada syaratnya, yaitu apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan yang bertentangan satu dengan lainnya baik dalam perkara pidana maupun perdata. SEMA No. 10 Tahun 2009 tetap menjadi rujukan sekalipun telah terbit SEMA No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.

 

SEMA yang terakhir diterbitkan itu merupakan respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.34/PUU-XI/2013 yang intinya membatalkan pasal 268 ayat (3) KUHAP. Bagi Chudry PK kedua tidak hanya berlaku untuk perkara perdata tapi juga pidana, agama, dan TUN. “Tidak hanya untuk perkara perdata tapi diperluas,” katanya ketika dihubungi, Rabu (7/3).

 

Dalam putusan MA bernomor 154 PK/TUN/2016, Chudry melihat novum yang digunakan pemohon PK kedua yaitu putusan perkara pidana yang sudah inkracht. Perkara pidana itu berkaitan dengan pemalsuan surat. Dia memperkirakan pihak yang terlibat dalam perkara pidana itu dijerat pasal 263 KUHP dan pasal 266 ayat (2) KUHP jika menggunakan akta palsu.

Tags:

Berita Terkait