Wadah Tunggal dan Mitos Negara Hukum
Kolom

Wadah Tunggal dan Mitos Negara Hukum

​​​​​​​Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan nasihat yang lebih bijak daripada diri Anda sendiri - Marcus Tullius Cicero.

Bacaan 2 Menit

 

Penghinaan terhadap pribadi sudah menjadi bagian dari sejarah keberadaan advokat sejak zaman perlawanan terhadap perlakuan kolonial kepada bangsa Indonesia. Maka ketika semuanya membungkan dengan keinginan politik praktis dan ekonomi non-kerakyatan harus menjadi UU yang notabenenya adalah hukum (aturan main) maka era  multibar dari quasi autonomous state organ harus diemban.

 

Bukanlah hal yang berlebihan ketika Prof. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin menyebut, “hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa”.

 

Penetrasi keilmuan dunia luar menjadikan kebesaran sebuah negara hanya sebagai tulisan dalam buku dan catatan sejarah, dalam wilayah intelektual intervensi politik mengendap halus melalui teori dan doktrin baru yang masih mentah dan terus berganti, tanpa kepastian apalagi kemapanan bentuk untuk merubah banyak hal dalam genggaman kekuatan perekonomian dan penyeragaman fisik, mitos yang tidak pernah selesai.

 

Dimanakah manusia hukum? Ke mana perginya negarawan?

Kembali ke awal di mana para advokat berjuang dari berbagai penjuru untuk lahirnya negara, tidak bermain politik tapi membaca sikap politis yang dituangkan oleh bangsa asing dalam kesepakatannya dengan (cikal-bakal) Indonesia, RUU Advokat harus segera disikapi sebagai keniscayaan dan dibahas dalam urgensi waktu yang mencukupi bersama pembuat UU.

 

*)Agung Pramono, SH., CIL. adalah Advokat sekaligus Anggota Forum Intelektual Kongres Advokat Indonesia.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait