Intisari :
Dalam sistem hukum di Indonesia belum terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara atau kejadian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau cukup salah satu pihak saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengaturan mengenai sistem dan transaksi elektronik;
Pengaturan mengenai tindak pidana siber yang mencakup hukum materil dan hukum formil.
Pengaturan tindak pidana siber dalam konteks hukum materil mengacu pada European Convention on Cybercrime, 2001. Pasal 31 UU 19/2016 mengatur mengenai intersepsi/perekaman ilegal, sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.
Penjelasan Pasal 31 UU 19/2016 mengatur bahwa:
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU 19//2016 ialah intersepsi ilegal yang dilakukan dalam suatu Sistem Elektronik. Sedangkan dalam Pasal 31 ayat (2) UU 19/2016 penekanannya ialah terhadap intersepsi ketika komunikasi sedang berada dalam proses transmisi. Akan tetapi keduanya menekankan bahwa intersepsi tersebut dilakukan atas Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu yang menarik ialah apakah realita yang sedang direkam tersebut merupakan Informasi Elektronik?
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (
electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[1]
Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[2]
Perbedaan mendasar antara Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik ialah bahwa yang informasi elektronik merupakan data sedangkan dokumen elektronik merupakan wadah dari data tersebut. Misalnya, dalam file dalam format .doc maka seluruh data mengenai file tersebut merupakan Informasi Elektronik sedangkan .doc merupakan wadah dari informasi tersebut. Demikian juga dengan file dalam bentuk .mp3, .txt, .html.
Berdasarkan definisi yang diatur dalam UU 19/2016 maka realita berupa suara atau kejadian yang direkam dalam satu
tape recorder atau kamera bukanlah data elektronik, bukan Informasi Elektronik dan bukan Dokumen Elektronik. Kamera atau
tape recorder tersebut merekam kejadian atau suara dengan mengubahnya menjadi Informasi dan Dokumen Elektronik. Dengan kata lain, suara yang diucapkan pada waktu kejadian masih belum termasuk dalam Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu, perekaman terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera yang dimaksud bukanlah termasuk pelanggaran menurut Pasal 31 UU 19/2016 karena tidak ada “transmisi” informasi elektronik yang diintersep atau disadap, penjelasan lebih lanjut silakan simak
Perbedaan Menyadap dan Merekam dan
Hukum Merekam Menggunakan Kamera Tersembunyi (Hidden Camera).
Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia belum terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara atau kejadian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau cukup salah satu pihak saja. Sebagai contoh, apakah ketika seseorang menaruh kamera tersembunyi dalam baju atau berbentuk bros untuk merekam suara atau kejadian termasuk perekaman yang sah atau tidak? Oleh karena itu, terkait masalah hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya persetujuan dari salah satu pihak sudah cukup menjadi dasar untuk melakukan perekaman yang dimaksud.
Apakah Rekaman Dapat Dijadikan Alat Bukti?
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
[3]
Namun demikian, dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa “
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya, maka telah dilakukan revisi atas penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), sehingga menjadi berbunyi:
Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Menjawab pertanyaan Anda, yang menanyakan apakah rekaman yang Anda buat secara diam-diam tersebut tentang terhadap pelanggaran dalam satu kasus yang dilakukan oleh anggota kepolisian dapat dijadikan bukti (kami asumsikan bukti untuk melaporkan) pelanggaran, jika kita mengacu pada penafsiran sempit tentang norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU ITE, maka rekaman tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah, karena dibuat bukan atas permintaan penegak hukum. Dengan catatan, rekaman yang dimaksud merupakan rekaman yang merupakan bagian dari penyadapan. Akan tetapi, jika bukan hasil penyadapan, maka dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Jadi, perekaman terhadap pelanggaran dalam satu kasus yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagaimana yang Anda maksudkan bukan termasuk tindak pelanggaran dalam UU ITE dan dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
Sitompul, Josua. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa, 2012
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016
[2] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016
[3] Pasal 5 ayat (1) UU ITE