Intisari :
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana Percabulan, maka anak tersebut tidak dapat dipidana, melainkan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk : menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Tindakan yang harus dilakukan oleh orang tua yang mengetahui Anaknya menjadi Korban tindak pidana Percabulan adalah sesegera mungkin membuat laporan/ pengaduan pada Kantor Polisi terdekat pada lokasi kejadian peristiwa tindak pidana tersebut terjadi. Selanjutnya, pihak Kepolisian/penyidik akan merujuk Anak Korban untuk dilakukan pemeriksaan visum dan kemudian hasil pemeriksaan visum (visum et repertum) diberikan kepada penyidik guna kepentingan proses pembuktian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[1] Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
[2]Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
[3]
Dapatkah Anak yang Mencabuli Balita Dipidana?
Secara umum, tindak pidana percabulan terhadap Anak (usia balita) dapat dipidana sebagaiman diatur dalam Pasal 76E UU 35/2014:
Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Jika melanggar, pelakunya dapat diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Perpu 1/2016, yaitu:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Tetapi karena yang melakukan pencabulan terhadap balita tersebut adalah Anak yang berusia (7-10 tahun), maka ia tidak dapat dipidana. Karena dalam UU 11/2012, pendekatannya adalah menjauhkan anak dari penjara. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak dapat disamakan layaknya tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pendekatan restorative justice harus dikedepankan, yaitu sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 6 UU 11/2012:
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Lebih lanjut mengenai hal ini menurut Pasal 21 ayat (1) UU 11/2012 diatur sebagai berikut :
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Orang Tua Korban
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka yang dapat dilakukan oleh orang tua dari anak korban (balita tersebut) ketika mengetahui anaknya menjadi korban tindak pidana percabulan adalah sesegera mungkin membuat laporan/pengaduan pada kantor Polisi terdekat pada lokasi kejadian peristiwa tindak pidana tersebut terjadi. H
al ini sesuai dengan Pasal 108 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
.
Selanjutnya, pihak Kepolisian/ penyidik akan merujuk anak korban untuk dilakukan pemeriksaan visum terkait dugaan tindak pidana percabulan tersebut, dan kemudian dari hasil pemeriksaan visum tersebut dokter yang memeriksa anak korban akan membuat laporan tertulis yakni visum et repertum, untuk diberikan pada penyidik guna kepentingan dalam proses pembuktian di pengadilan nantinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 133 ayat (1) KUHAP, yaitu:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Apabila dalam visum et repertum menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan terkait dugaan tindak pidana percabulan, maka hakim yang memeriksa perkara a quo (tersebut) akan memutus perkara a quo (tersebut) berdasarkan atas fakta persidangan dan alat bukti yang dihadirkan di persidangan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 3 UU 11/2012
[2] Pasal 1 angka 4 UU 11/2012
[3] Pasal 1 angka 5 UU 11/2012