Baru-baru ini diberitakan ada mural yang menggambarkan wajah presiden dihapus oleh petugas karena dinilai tidak menghormati lambang negara. Saya ingin tahu, bagaimana sebenarnya hukumnya memandang perbuatan mural presiden sebagai bentuk kritik ini?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Mural merupakan salah satu bentuk seni rupa, atau lebih tepatnya seni lukis, biasanya menggunakan dinding atau tembok sebagai medianya, yang memiliki banyak tujuan pembentukan, salah satunya untuk menyuarakan kritik.
Pada dasarnya, setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam bentuk tulisan berupa gambar di muka umum.
Lalu, apakah mural yang menggambarkan wajah presiden sebagai bentuk kritik dapat dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau bahkan diancam pidana?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Apa Itu Mural?
Mural menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai lukisan pada dinding. Sementara itu, Ryan Sheehan Nababan dalam artikelnya Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi Perkembangan Jaman (Studi Kasus Seni Mural Karya Young Surakarta) menyebutkan, mural merupakan salah satu bentuk seni rupa, atau lebih tepatnya seni lukis, yang biasanya menggunakan dinding atau tembok sebagai medianya, atau dapat juga menggunakan media besar dan datar lainnya seperti, langit-langit, papan besi, maupun kain, baik eksterior maupun interior (hal. 1).
Masih dari sumber yang sama, mural yang diproduksi memiliki banyak tujuan, mulai dari kepentingan pribadi untuk memenuhi hasrat estetis seniman, kepentingan menyuarakan kritik politik dan sosial budaya, hingga kepentingan sebuah brand tertentu dalam melakukan branding dan promosi produknya. Seni mural digunakan sebagai media penyampaian kritik tentang permasalahan dalam realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat (hal. 1-3).
Lambang Negara dan Kedudukan Presiden
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam pertanyaan, Anda menyebutkan mengenai lambang negara. Perlu diketahui bahwa lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika[1]
Berkaitan dengan lambang negara ini, setiap orang dilarang:[2]
mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara;
menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara.
Sehingga tidak benar bahwa lambang negara adalah presiden, melainkan lambang negara yang sebenarnya adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dan dibantu oleh satu orang wakil presiden dalam melakukan kewajibannya.[3]
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, mural bisa dibuat dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Pada dasarnya, setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[4]
Penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan secara lisan, tulisan, dan sebagainya. Secara tulisan antara lain dalam bentuk petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan spanduk.[5]
Namun, warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:[6]
menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, dikarenakan mural yang merupakan seni lukis yang biasanya menggunakan media dinding atau tembok, maka pembuatan mural ini berpotensi melanggar ketentuan peraturan daerah masing-masing terkait ketertiban umum.
mencoret-coret, menulis, melukis/menggambar, memasang/menempel iklan/reklame di dinding/tembok, jembatan lintas, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya;
membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan; dan
membuang air besar dan kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai, saluran air tempat lainnya yang bukan peruntukannya.
Bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 di atas, dikenai ancaman pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda maksimal Rp50 juta.[7]
Setiap orang yang melihat, mengetahui dan menemukan terjadinya pelanggaran terhadap ketertiban umum dapat melaporkan kepada petugas yang berwenang. Yang melaporkan tersebut berhak mendapat perlindungan hukum. Kemudian, petugas akan menindaklanjuti dan memproses secara hukum terhadap laporan yang disampaikan.[8]
Jadi, yang menjadi masalah di sini bukanlah substansi mural berupa kritik yang disampaikan terhadap pemerintah/presiden, melainkan perbuatan melukis di dinding atau tembok yang merupakan sarana umum, terlepas dari apapun gambar yang dilukis, termasuk gambar presiden sekalipun. Sehingga, dalam hal ini perlu diperhatikan peraturan daerah yang mengatur mengenai ketertiban umum.
Sedangkan, apabila gambar presiden pada mural bertujuan untuk menghinanya, maka berlaku Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisanmenghina suatupenguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 164) menjelaskan bahwa pasal ini menjamin alat-alat kekuasaan negara supaya tetap dihormati. Tiap-tiap penghinaan terhadap alat-alat tersebut dihukum menurut pasal ini.
Menurut Soesilo, menghina dengan lisan atau tulisan sama dengan menyerang nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Agar penghinaan tersebut dapat dihukum, harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum. Jika dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan surat kabar, majalah, pamflet dan lain-lain harus dibaca oleh khalayak ramai.
Namun, patut diperhatikan bahwa dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, diuraikan bahwa terkait Pasal 207 KUHP, dalam hal penghinaan ditujukan kepada presiden dan/atau wakil presiden selaku pejabat, menurut pertimbangan MK, penuntutan terhadapnya seharusnya dilakukan atas dasar pengaduan (hal. 60).
Jadi, dalam hal mural itu memiliki tujuan untuk menghina presiden sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP, penuntutan pidana dapat dilakukan namun atas dasar adanya pengaduan dari presiden itu sendiri.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
Ryan Sheehan Nababan. Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi Perkembangan Jaman (Studi Kasus Seni Mural Karya Young Surakarta). Prosiding: International Conference on Art, Design, Education, and Cultural Studies (ICADECS), Universitas Negeri Malang, 2019;