Saya sangat geram akhir-akhir ini marak diberitakan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Kalau untuk menjerat pelaku pelecehan seksual terhadap anak, pakai UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, atau pakai KUHP, yang kira-kira bisa bikin efek jera pelaku? Lalu, apa saja sih perlindungan yang dijamin hukum untuk korban kekerasan seksual yang menimpa anak-anak ini? Apakah termasuk mendapatkan penanganan dari ahli untuk trauma yang dialami?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Anak merupakan penerus bangsa yang harus mendapatkan perlindungan hukum secara optimal dari segala bentuk kejahatan, salah satunya adalah kekerasan seksual.
Terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dikenai sanksi pidana sebagaimanadimuat di dalam ketentuan UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Kendati demikian, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai tindak pidana kekerasan seksual, seperti KUHP, UU 1/2023 dan UU TPKS.
Lantas, apa saja bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal yang Diterapkan bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
Tindak pidana kekerasan seksual dapat berupa pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.[1]
Selain itu, kekerasan seksual juga meliputi antara lain perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, perbuatan cabul, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan sebagainya.[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebab Anda tidak menyebutkan jenis kekerasan seksual terhadap anak secara detail, untuk menjawab pertanyaan undang-undang dan pasal manakah yang digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak, menurut hemat kami dapat saja dijerat dengan pasal berlapis, apabila kejahatan mengandung tindak kejahatan yang sekaligus banyak. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Tata Cara Penerapan Hukuman Pasal Berlapis.
Namun, apabila suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu. Jika ancaman pidananya berbeda-beda, yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok paling berat. Apabila perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum dan dalam aturan pidana khusus, maka hanya aturan pidana khusus yang diterapkan.[3]
Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 jo. Pasal 15 ayat (1) huruf g
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Konsekuensinya anak harus mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial dengan memberikan perlindungan serta pemenuhan atas hak-haknya tanpa diskriminasi.[5]
Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum terhadap anak adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children) serta sebagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.[6]
Lebih lanjut, Maidin Gultom memberikan pandangan bahwa perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental sosialnya maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.[7]
Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 2 UU 35/2014 menerangkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Lebih lanjut, anak berhak memperoleh perlindungan dari:[8]
penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
pelibatan dalam sengketa bersenjata;
pelibatan dalam kerusuhan sosial;
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
pelibatan dalam peperangan;dan
kejahatan seksual.
Dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf j UU 35/2014 diatur bahwa pemerintah, pemerintahan daerah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, salah satunya diberikan kepada anak korban kejahatan seksual.
Perlindungan khusus tersebut dilakukan melalui upaya:[9]
penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis dan sosial serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Lebih lanjut, perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual dilakukan melalui upaya:[10]
edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
rehabiltasi sosial;
pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam UU TPKS, korban kekerasan seksual berhak atas penanganan, pelindungan dan pemulihan.[11] Hak korban atas penanganan meliputi:[12]
hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, dan pemulihan;
hak mendapatkan dokumen hasil penanganan;
hak atas layanan hukum;
hak atas penguatan psikologis;
hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis;
hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan
hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Adapun hak korban atas pelindungan antara lain:[13]
penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
pelindungan atas kerahasiaan identitas;
pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban;
pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana
kekerasan seksual yang telah dilaporkan.
Sementara itu, hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, serta reintegrasi sosial.[14] Korban juga berhak atas pemulihan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan seperti pendampingan hukum, penguatan psikologis, dan sebagainya. Hal ini secara lengkap diatur di dalam Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 UU TPKS.
Untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban tersebut, dilaksanakan oleh pemerintah pusat yang dikoordinasikan oleh menteri dan pemerintah daerah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPTD PPA.[15]
UPTD PPA dalam menjalankan tugasnya dapat bekerja sama antara lain dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LPSK, dan institusi lainnya.[16]
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti, 1998;
KPAI. Darurat Perlindungan Anak: Potret Permasalahan Anak Indonesia 2010-2013 Respon dan Rekomendasi. Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2013;
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010;
UPTD PPA yang diakses pada Kamis, 7 September 2023 pukul 16.06 WIB.
[5] KPAI. Darurat Perlindungan Anak: Potret Permasalahan Anak Indonesia 2010-2013 Respon dan Rekomendasi. Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2013, hal. 1
[6] Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 156
[7] Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010, hal. 8