Indonesia Menuju Nepokrasi?
Kolom

Indonesia Menuju Nepokrasi?

Kemunduran demokrasi yang dibajak nepotisme. Pada dasarnya adalah monarki berbasis keturunan dan kroni.

Membusuk lewat Nepokrasi

Nepotisme dikenal sebagai pemahaman kalangan penguasa yang bertendensi menggunakan pendekatan kekerabatan dan kroni dalam pengisian jabatan publik. Berdasarkan regulasi, pengertian nepotisme dijelaskan Pasal 1 angka 5 UU No.28 Tahun 1999 sebagai ”setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara”. Perbuatan ini sendiri dikualifikasi sebagai tindak pidana oleh Pasal 22 UU No.28 Tahun 1999 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1Miliar.

Nepotisme dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk konflik kepentingan yang dilarang dalam penyelenggaraan negara. Alasannya karena akan berujung pada ketidakmampuan bersikap secara adil dan objektif. Akan tetapi, persepsi terhadap nepotisme kerap dipisahkan sebagai persoalan yang legal formal antara hukum dan etika. Salah satu persoalannya adalah akibat penggunaan unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 1 angka 5 UU No.28 Tahun 1999. Persoalan nepotisme harus dianggap melawan hukum ketika terjadi “secara melawan hukum”, padahal nepotisme berakar dari pelanggaran etika. Unsur yang demikian itu pada akhirnya menciptakan kesadaran palsu (false consciousness). Seolah-olah nepotisme baru disebut nepotisme apabila dilakukan secara melawan hukum. Padahal, nepotisme sudah menjadi nepotisme ketika etika konflik kepentingan sudah terlanggar.

Beragam bentuk konflik kepentingan bisa bersembunyi di balik instrumen dan prosedur-prosedur yang didengungkan atas nama demokrasi itu sendiri. Atas nama demokrasi—yang dimaknai sempit sebagai kontestasi elektoral semata—, nepotisme bisa berlindung dan tumbuh subur di baliknya. Alih-alih dihindari, nepotisme justru dianggap sebagai salah satu strategi. Nepotisme bahkan menjadi sesuatu yang dikompetisikan.

Awalnya nepotisme dikompetisikan secara tersembuyi, lalu bergerak menjadi terbuka. Nepotisme tersembunyi misalnya terjadi pada tataran internal partai politik saat pencalonan peserta pemilu. Wujudnya ialah penentuan bakal calon atau nomor urut calon anggota legislatif yang mengutamakan kerabat atau kroni.

Nepotisme secara terbuka dipertontonkan ketika meletakkan anak atau sanak saudara sebagai calon penerus kekuasaan melalui sarana pemilu. Bahkan itu dilakukan dengan memaksa atau mendorong birokrasi untuk berpihak.

Situasi ini mengubah demokrasi menjadi nepokrasi. Kesadaran rakyat dimanipulasi oleh pemahaman bahwa semua proses pemilihan adalah demokratis. Padahal, opsi pilihan jelas-jelas dibatasi dan diarahkan kepada proses yang nepotisme.

Memilih Nepokrasi

Eksistensi nepokrasi adalah hasil pilihan. Nepokrasi hanya timbul apabila demokrasi mengalami pembusukan. Pembusukan itu sendiri bisa saja bersumber dari hasil pemilu yang berlindung pada prinsip “demokratis”. Pemilu yang berperan untuk sirkulasi kekuasaan tetapi dijalankan dengan krisis ide hanya akan mereduksi esensi pemilu. Pemilu yang memiliki makna kedaulatan rakyat bisa direduksi menjadi sarana transfer kedaulatan rakyat kepada elit.

Tags:

Berita Terkait