Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik
Utama

Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik

​​​​​​​‘Di manapun kita berada, ambil hakmu, jangan lebih dari semestinya. Berikanlah kewajibanmu, jangan kurang dari seharusnya’.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Kecintaannya terhadap disiplin ilmu HTN mendorongnya agar Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi, seperti halnya kebanyakan negara. Karenanya, dia gencar mendorong terbentuknya lembaga MK. Prof Jimly pun menjadi bagian orang yang merumuskan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hingga terpilih memimpin lembaga tersebut periode 2003-2008.

Prof Jimly menyorot tingkat integritas pejabat publik yang memburuk. Dia beralasan sejak era reformasi terdapat ruang kebebasan yang kian luas dan tidak terkendali. Bahkan sistem norma pun terbilang kurang efektif. Terlebih lagi, disrupsi teknologi dan informasi terus menjadi anomali. Sementara norma lama tak lagi berlaku,  namun norma baru belum berlaku efektif.

“Di situlah ada ruang kualitas dan perilaku dan integritas perilaku pejabat publik ada problem dan menurun,” katanya.

Kendatipun terdapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan peran publik namun integritas pejabat publik masih menurun. Karenanya diperlukan rule of law dan rule of ethic. Dia menilai pemimpin mesti berfungsi sebagai pimpinan dari institusi publik. Sebaliknya, tak menjadi ‘tikus’  mencari kesempatan berikutnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menilai, gejala umum yang terjadi terkait dengan adanya konflik kepentingan pribadi dan kedinasan, yakni dengan berkicau di media sosial. Publik pun bertanya-tanya soal apakah pendapat pribadi atau institusi. “Pejabat publik harusnya kenegarawan, lupakanlah politik, lupakanlah pemilih, lupakanlah tim sukses. Tapi lebih menjadi pelayan masyarakat,” ujarnya.

Dia berpendapat, perlu adanya ketegasan kebijakan larangan konflik kepentingan. Misalnya antara bisnis dan politik. Dua hal tersebut menjadi gejala umum di seluruh dunia. Nah gejala umum tersebut  di Indonesia pun belum adanya kesadaran memisahkan bisnis dan politik. Terlebih lagi, budaya feodal dan partai-partai melakukan pembiruan darah dinasti. Karenaya perlu pembenahan secara menyeluruh.

Dia pun memberikan tips untuk dijadikan pedoman bagi pejabat publik. Pertama, mesti memahami persoalan secara mendalam. Baginya, setiap permasalahan mesti dipahami seluk-beluknya. Yakni melalui kualitas informasi dan pengetahuan. Kedua, soal integritas dan bersikap. Dia menyarankan agar setiap masalah dihadapi dengan akal yang tulus. “Bukan dengan akal bulus, apalagi akal  fulus. Kita hadapi dengan tulus,” katanya.

Tags:

Berita Terkait