Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik
Utama

Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik

​​​​​​​‘Di manapun kita berada, ambil hakmu, jangan lebih dari semestinya. Berikanlah kewajibanmu, jangan kurang dari seharusnya’.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Baca:

Harus dimiliki akademisi

Menjadi akademisi merupakan pilihan hidup di dunia pendidikan. Makanya, ketika menjadi seorang akademisi, membaca menjadi kegiatan wajib. Apalagi dengan era digital, saran membaca menjadi jauh lebih mudah. Itu sebabnya, akademisi menjadi leih mudah mencerna ide-ide baru di berbagai bidang keilmuan. “Terlebih untuk hukum tata negara,” imbuhnya.

Prof. Jimly menegaskan, akademisi tak boleh terpaku pada hukum tata negara positif yang berlaku di Indonesia semata. Namun akademisi mesti dapat menangkap berbagai gejala perkembangan dunia hukum tata negara di berbagai negara. Dia mewanti-wanti agar akademisi hukum tak sekadar berpikir nasional. Apalagi sarjana hukum yang hanya terpaku pada peraturan perundangan, serta norma pasal-pasal dalam UU.

“Jangan jadi sarjana perundang-undangan. Tapi mampu menangkap perembangan hukum di dunia,” katanya.

Kemudian, semangat untuk terus bergerak. Dia berlasan di era teknologi semua bidang keilmuan bergerak cepat dan berubah. Dia memastikan, bila memandang ilmu hukum sepertihalnya saat ini, cara bekerja dan berpikir bakal terus tertinggal. Karenanya, ke depan bakal dibutuhkan akademisi hukum yang dinamis dan terus berkreasi. “Kalau kaku, maka keadilan terjerumus pada lembah ketidakadilan,” katanya.

Penyesalan

Prof Jimly ingat betul adanya permohonan uji materi sejumlah pasal dalam UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Khususnya penghapusan aturan ketentuan hukuman mati. Dalam sidang internal, dia berdebat panjang dengan delapan hakim. Setidaknya untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya penghapusan pidana mati dalam hukum positif.

Namun sayangnya, berdasarkan hasil voting dari sembilan hakim, Prof Jimly berada pada posisi yang kalah. Komposisinya, kata Prof Jimly, 5 hakim konstitusi menolak penghapusan ketentuan pidana mati. Sementara 4 orang hakim konstitusi lainnya menyetujui penghapusan pidana mati, salah satunya dirinya.

Meski kalah suara dalam voting, Prof. Jimly enggan membuat dissenting opinion dalam putusan 2007 silam. Padahal, bila permohonan pemohon dikabulkan kendati dengan voting, maka akan menjadi hal baru dalam hukum pidana positif di Indonesia. Apalagi Indonesia menjadi mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.

Tags:

Berita Terkait