Amicus Curiae Ratusan Akademisi Minta MK Diskualifikasi Pencalonan Gibran
Melek Pemilu 2024

Amicus Curiae Ratusan Akademisi Minta MK Diskualifikasi Pencalonan Gibran

Penetapan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 melalui Keputusan KPU No. 1632 Tahun 2023 bertentangan dengan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 atau batal demi hukum sebagaimana seharusnya dimaknai berdasarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Otto menyerahkan sepenuhnya kepada MK yang memutuskan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Dalam amicus curiae yang mereka sampaikan diawali pada polemik Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Calon Wakil Presiden Pasangan Calon Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka. Putusan tersebut dinilai telah salah dimaknai oleh KPU karena merupakan putusan pluralitas. Putusan pluralitas merupakan putusan yang diambil tanpa adanya suara mayoritas yang mendukung satu pertimbangan hukum yang sama.

Misalnya, 3 Hakim Konstitusi Anwar Usman, Guntur M. Hamzah, Manahan M.P. Sitompul menulis pendapat pluralitas (plurality opinion); 2 Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion); dan 4 Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Pertanyaannya bagaimana memaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ketika terdapat tidak hanya perbedaan pertimbangan hukum, tetapi juga perbedaan bunyi amar antara plurality opinion dengan concurring opinion?

Karena itu, dalam hal terdapat putusan pluralitas, pendirian MK harus dilihat dalam pertimbangan hukum dan/atau amar putusan yang disetujui mayoritas hakim dalam lingkup yang paling sempit (the narrowest ground rule). Ini selaras dengan bunyi Pasal 45 ayat (7) UU 24/2003, “Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.”

Berdasarkan ketentuan itu, dengan komposisi 9 hakim konstitusi, sudah seharusnya putusan diambil dengan sekurang-kurangnya 5 hakim konstitusi yang kemudian menyetujui amar putusan yang sama. Meskipun terdapat perbedaan pertimbangan hukum diantara anggota majelis yang menyetujui amar putusan tersebut.  

Menurutnya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 seharusnya dimaknai perluasan jabatan yang disetujui mayoritas anggota majelis baik pluralitas dan concurring hanya jabatan gubernur. “Bila membaca Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan kacamata the narrowest ground rule, perluasan makna Pasal 169 huruf q UU 7/2017 harus dibaca ‘memperluas persyaratan pencalonan hanya untuk yang berpengalaman sebagai gubernur’.”

Berdasarkan pemaknaan itu, penetapan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 melalui Keputusan KPU No. 1632 Tahun 2023 bertentangan dengan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 atau batal demi hukum sebagaimana seharusnya dimaknai berdasarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu. Sebab, Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 masih menjabat sebagai walikota dan belum pernah menduduki jabatan gubernur, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat pencalonan.  

Selain itu, mengingat preseden putusan MK sebelumnya dalam Perkara Nomor 132/PHP.BUP-XIX/2021 dan 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang pernah memutus diskualifikasi pasangan calon karena tidak dipenuhinya kualifikasi dalam tahap pencalonan, serta Putusan Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menegaskan masuknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai bagian dari rezim Pemilu.

Tags:

Berita Terkait