ATVSI Persoalkan SK Pedoman Penyiaran Ke Mahkamah Agung
Berita

ATVSI Persoalkan SK Pedoman Penyiaran Ke Mahkamah Agung

SK Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran diduga melanggar tiga undang-undang, termasuk UU Penyiaran yang menjadi dasar keberadaan KPI. Karena itu SK tersebut diminta untuk dibatalkan.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
ATVSI Persoalkan SK Pedoman Penyiaran Ke Mahkamah Agung
Hukumonline

 

Lebih lanjut, dalam dokumen permohonan uji materil disebutkan bahwa SK KPI tersebut melanggar Pasal 48 ayat (2) dan (3) UU Penyiaran, karena tidak disusun dan bersumber pada norma-norma siaran yang diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.

 

"Adanya berbagai ketentuan yang menghambat pertumbuhan industri penyiaran, mematikan kreativitas, dan membatasi kebebasan jurnalistik, kebebasan berkarya dan kebebasan untuk memperoleh informasi," tegas Amir.

 

Selanjutnya, SK KPI dinilai bertentangan dengan Pasal 55 UU Penyiaran karena mengatur tentang sanksi administratif terhadap pelanggaran PPP/SPS. Padahal, menurut Amir, KPI tidak memiliki hak memberikan sanksi administratif karena hal itu seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pengaturan soal isi siaran lembaga penyiaran juga dinilai bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers karena membatasi kebebasan pers/jurnalistik, dan bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman karena membatasi kebebasan berkarya dalam film.

 

"Berdasarkan hal tersebut kami meminta MA untuk menyatakan tidak sah SK KPI tersebut dan selanjutnya menyatakan SK tersebut batal atau setidak-tidaknya tidak berlaku," tegas Amir dalam tuntutannya.

 

Hanya berpatokan undang-undang

Saat dikonfirmasi soal permohonan uji materil tersebut, Ketua KPI Victor Menayang mengatakan bahwa dirinya belum membaca sepenuhnya isi dari surat permohonan itu. "Hanya saja pada prinsipnya apa yang kami lakukan semata-mata hanya berdasarkan undang-undang," jelas Victor.

 

Terkait soal kewenangan mengatur dan memberi sanksi yang dipersoalkan, Victor mengatakan bahwa menurut UU Penyiaran, lembaganya jelas punya kewenangan. Terutama untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan, pelanggaran perilaku penyiaran, maupun untuk pelanggaran atas program siaran. "Itu ada di Pasal 8 ayat (2)," tegas Victor.

 

Selengkapnya Pasal 8 ayat (2) huruf d, berbunyi; dalam menjalankan fungsinya KPI mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan, dan pedoman perilaku penyiaran, serta standar program siaran.

 

Sedangkan mengenai dugaan melanggar Pasal 55, Victor mengatakan bahwa Pasal 55 justru tidak membicarakan pelanggaran dan sanksi terhadap pasal soal pedoman penyiaran. Untuk pelanggaran terhadap pasal-pasal lain memang diatur oleh Pasal 55 ini. "Itu harus dengan hati-hati mereka (para pemohon) membacanya," jelasnya.

 

KPI sendiri, menurut Victor, dalam waktu dekat tidak akan mengambil langkah-langkah khusus terkait permohonan uji materil terhadap SK itu. "Kami kan belum terima dokumennya, nanti akan dipelajari terlebih dahulu," tambahnya.

Keinginan membatalkan atau menyatakan tidak berlaku SK tentang Pedoman Perilaku Penyiaran itu tertuang dalam berkas permohonan uji materil yang diajukan oleh sepuluh stasiun televisi swasta nasional yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) ke Mahkamah Agung. Permohonan itu didaftarkan ke Mahkamah Agung,  Jum'at pagi (28/1).

 

Selengkapnya, SK KPI yang dipermasalahkan adalah SK KPI No. 009/SK/KPI/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP/SPS), yang ditetapkan oleh KPI pada 30 Agustus 2004.

 

Kepada hukumonline, kuasa hukum ATVSI, Amir Syamsuddin, menyatakan bahwa SK yang diterbitkan oleh KPI tersebut setidaknya melanggar tiga undang-undang yang sekarang berlaku. "UU tentang Penyiaran, UU tentang Pers, dan UU tentang Perfilman," ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: