Berbeda dengan Ormas, Pahami Pengertian Organisasi Masyarakat Sipil
Utama

Berbeda dengan Ormas, Pahami Pengertian Organisasi Masyarakat Sipil

Salah kaprah antara penyamaan OMS dengan Ormas harus diluruskan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Webinar bertema Kerangka Hukum Bagi Lingkungan Pendukung Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia, Jumat (12/11).
Webinar bertema Kerangka Hukum Bagi Lingkungan Pendukung Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia, Jumat (12/11).

Dinamika keberlangsungan kerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di berbagai negara termasuk Indonesia menghadapi tantangan besar terutama semakin terbatasnya ruang kebebasan. Situasi ini telah muncul lebih dari satu dekade terakhir yang disebabkan berbagai faktor seperti perubahan pola pembiayaan pembangunan dan peran negara, perubahan situasi keamanan serta dorongan agar OMS lebih fokus pada service delivery daripada advokasi kebijakan.

Kemudian, OMS juga harus menghadapi tekanan perubahan teknologi informasi dan komunikasi serta tuntutan perubahan internal OMS untuk lebih akuntabel dan transparan. Pada perubahan situasi keamanan hal ini disebabkan menguatnya isu terorisme yang disalahgunakan sebagai justifikasi untuk membatasi ruang gerak OMS.

Berbagai dinamika tersebut juga dialami OMS di Indonesia. Pemberlakuan dan implementasi Undang-Undang (UU) No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengekang kebebasan berpendapat menjadi salah satu bukti tren tersebut. Terlebih dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang membatasi ruang gerak OMS.

Pada UU ini definisi OMS dan Ormas dicampuradukkan, padahal lingkup OMS jauh lebih luas jenis dan ragamnya. Sementara OMS sering disebut salah satu pilar demokrasi, penyeimbang kekuatan sektor swasta dan negara. Dengan kesadaran tersebut, maka OMS perlu dilindungi ruang geraknya, agar tetap bebas berinovasi. Salah satunya dengan menjamin hak kebebasan berserikat berkumpulnya, termasuk dengan memastikan pertumbuhan lingkungan pendukung (enabling environment) yang menguatkan, termasuk dari segi kerangka hukum.

Berdasarkan latar belakang tersebut, mendasari diselenggarakannya Webinar dengan tema “Kerangka Hukum Bagi Lingkungan Pendukung Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia” oleh Yayasan Penabulu melalui Program CO-EVOLVE bersama Jejaring Lokadaya bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan YAPPIKA.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga, menjelaskan pihaknya telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 3 tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang disahkan pada Maret 2020. (Baca: Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia)

SNP tersebut merupakan penjabaran secara implementatif atas berbagai instrumen internasional dan nasional serta norma-norma HAM yang terus berkembang dinasi agar sesuai dengan konteks dan peristiwa khususnya di Indonesia. Sehingga SNP mampu dipahami dan diimplementasikan secara baik oleh pemangku hak, pengemban kewajiban serta aktor-aktor terkait.

“Kami menyusun SNP ini karena ada permintaan dari koalisi masyarakat sipil agar Komnas fokus pada isu ini. Ini juga berkaitan dengan UU Ormas (UU 17/2003) yang mewajibkan semua organisasi non-pemerintah untuk mendaftar ke pemerintah dan tunduk untuk melaporkan kegiatan secara rutin. Lalu juga ada Perppu Ormas (Perppu 2/2017) yang menghapuskan proses peradilan dalam pembubaran organisasi non-pemerintah,” jelas Sandrayati.

Latar belakang lain disusunnya SNP tersebut yaitu tafsir atas Pasal 28 UUD 1945 tentang pembatasan dengan mempertimbangkan aspek moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum menjadi perdebatan saat penyusunan UU Ormas. Kemudian, terdapat interpretasi tentang kepemilikan SKT (surat keterangan terdaftar) yang semakin melebar. Lalu, terdapat laporan Amnesty Internasional melaporkan sejak 2015 terdapat 39 kasus yang membatalkan mengintimidasi peserta terkait peristiwa 1965-1966.  

Dia menjelaskan negara memiliki kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi semua hak asasi termasuk berkumpul dan berorganisasi. Selain itu, terdapat kewajiban positif negara untuk menyediakan perlindungan hukum. Sedangkan, kewajiban negative yaitu berkaitan dengan pembatasan yang dilakukan hanya ketika dibutuhkan dan proporsional.

“Kami berharap dokumen SNP jadi bahan ajar di perguruan tinggi sehingga tersosialisasi dengan baik dan jadi referensi utama dalam pembuatan dan pencabutan perundang-undangan oleh pemerintah pusat dan daerah,” jelas Sandrayati.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Eryanto Nugroho, menyampaikan terdapat salah kaprah dalam praktik yang menyamakan antara OMS dengan Ormas. Padahal kedua hal tersebut memiliki perbedaan signifikan dari sisi histori, sosiologi, antropologi hingga hukum.

“Permasalahan sekarang saat ini di kalangan masyarakat sipil, pemerintah, pengadilan terjadi kerancuan cenderung mencampuradukan. OMS itu perlu diluruskan tidak sama dengan ormas,” jelas Eryanto.

Dia menjelaskan OMS tersebut meliputi berbagai jenis organisasi mulai dari organisasi berbasis keyakinan, organisasi non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi berbasis komunitas, lembaga riset independent, organisasi keanggotaan berbasis massa dan organisasi relawan.

Dia menilai salah kaprah antara penyamaan OMS dengan Ormas harus diluruskan. Dia mengkhawatirkan pendekatan pemerintah akan sama antara OMS dan Ormas. Dalam artikel Hukumonline dengan judul “Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil di Indonesia”, Eryanto menyampaikan sebagian OMS mengalami kebingungan dengan kerangka hukum yang memang rancu.

Sebagian lagi memilih menundukkan diri pada UU Ormas, semata karena pertimbangan pragmatis. Kenyataannya, mengurus Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk jadi Ormas memang jauh lebih mudah ketimbang pengurusan status Badan Hukum Yayasan atau Perkumpulan. Dalam pertimbangan pragmatis, yang penting organisasi bisa beroperasi dengan dukungan status legal, apapun bentuk statusnya.

Kemudian, pemerintah juga belum seragam dalam penggunaan istilah. Kadang Ormas, LSM, Organisasi Non-Pemerintah, kadang juga Lembaga Nirlaba. Berbeda dengan Orba, pemerintah hari ini nampak tidak satu suara dalam upaya “meng-ormas-kan” seluruh sektor masyarakat sipil.

“OMS tidak bisa begitu saja disempitkan jadi Ormas. Semesta OMS jelas lebih luas dari Ormas. Menimbang luas dan keragaman OMS, bisa dipastikan bahwa baju Ormas bakal kesempitan bila dipaksakan. Arus untuk memadankan istilah Ormas dengan pengertian OMS, berpotensi untuk menimbulkan masalah lebih besar dari sekadar soal pilihan istilah,” jelas Eryanto.

Lihat saja RPJMN 2020-2024 (Perpres No.18/2020) yang menggunakan istilah OMS, bukan Ormas, dalam arah kebijakan dan strategi konsolidasi demokrasi. Kementerian Hukum dan HAM juga sepertinya menyadari kerancuan yang ditimbulkan UU Ormas. Dalam Naskah Akademik RUU Perkumpulan (2016), Badan Pembinaan Hukum Nasional sepakat dengan argumen Penulis bahwa UU Ormas menambah ketidakpastian hukum (karena menempatkan Ormas seolah sebagai payung dari seluruh organisasi sosial), dan merekomendasikan agar pengaturan Perkumpulan seharusnya terpisah dari UU Ormas.  

Sejak Perppu Ormas tahun 2017, pembubaran Ormas bisa dilakukan pemerintah tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu. Sejauh ini sudah ada tiga organisasi yang dibubarkan tanpa pengadilan: Hizbut Tahrir Indonesia, Badan Hukum Perkumpulan ILUNI-UI, dan Front Pembela Islam.

Eryanto berpendapat banyak yang belum sadar bahwa dengan adanya upaya meluaskan tafsir definisi Ormas, ancaman pembubaran sepihak itu kini bisa tertuju pada semua organisasi yang bergerak di sektor masyarakat sipil atau OMS.

Risiko-risiko ini perlu dipahami terlebih dahulu oleh OMS yang hendak mendefinisikan organisasinya sebagai Ormas. Jangan sampai OMS lupa konteks, dan langsung mengaku sebagai Ormas, misalnya hanya untuk memenangkan Ormas Awards atau sekadar supaya bisa ikut dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Keputusan untuk mendefinisikan diri sebagai Ormas, harus ditimbang masak-masak oleh OMS lengkap dengan segala risikonya.

Untuk meluruskan kerancuan tersebut, Eryanto berpendapat perlu ada perubahan undang-undang untuk meluruskan kerancuan ini. Pengaturan OMS sebaiknya dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar yaitu: 1) UU Yayasan untuk OMS yang tidak berbasis anggota, 2) UU Perkumpulan untuk OMS yang berbasis anggota. Adapun terkait bidang kegiatan masing-masing (misal: kesehatan, pendidikan, penelitian, keagamaan dll), OMS bisa berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga yang sesuai bidangnya. Dengan begini, tidak ada Kementerian/Lembaga yang bertindak seakan jadi “Big Brother Institution” ala Orwell yang memayungi semua jenis OMS lintas bidang kegiatan.

Eryanto mengatakan perebutan tafsir ini bukan sekadar urusan teknokratik revisi bunyi pasal belaka. Perlu disadari bahwa fenomena “shrinking civic space” sedang terjadi juga pada sektor masyarakat sipil di Indonesia. Dalam ruang yang menyempit, publik perlu bersiap dan menentang bermunculannya upaya menyempitkan ruang gerak organisasi, mempersulit perizinan, mendiskreditkan, menutup akses pendanaan, mengkriminalisasi, ataupun tindakan sewenang-wenang lainnya terhadap OMS. Sektor masyarakat sipil ini perlu dijaga bersama, untuk memastikan tersedianya ruang bebas dalam membuat perubahan.

Direktur Eksekutif YAPPIKA-Actionaid dan Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). Fransisca Fitri menyampaikan terdapat berbagai temuan sepanjang 2019-2020 mengenai pelanggaran dan/atau pembatasan hak atas kebebasan berorganisasi. Bentuk pelanggaran tersebut seperti izin dipersulit, kewajiban mendaftar, stigmatisasi OMS, pembatasan akses, pelarangan aktivitas, pelarangan organisasi, kriminalisasi, pembentukan aturan turunan, pengawasan berlebihan dan union busting.

“Dari tahun ke tahun pelaksanaan UU Ormas, KKB mulai mendapat pola implementasinya seperti mending semua organisasi daftar dan harus punya SKT. Ini bertentangan dengan putusan MK yang menghapus kewajiban daftar. Jika tidak daftar atau tidak punya SKT ada stigma organisasi ilegal atau bodong. Kemudian, ada restriksi akses terhadap sumber daya, lalu pelarangan aktivitas, pelarangan organisasi atau pencabutan badan hukum, kriminalisasi, penangkapan aktivis dan pemantauan berlebihan dari pemerintah daerah,” jelas Fransisca.

Tags:

Berita Terkait