Catatan ATP Law Firm terhadap Sanksi Pemidanaan dan Administratif dalam UU PDP
Terbaru

Catatan ATP Law Firm terhadap Sanksi Pemidanaan dan Administratif dalam UU PDP

Kehadiran UU PDP pada prinsipnya patut untuk diapresiasi dan menjadi langkah yang positif dari segi pengembangan kebijakan terhadap keamanan siber di Indonesia.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit

 

Berikutnya, Pasal 68 mengatur ketentuan pidana sebagai berikut:

 

“Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara paling tama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

 

Selain sanksi yang telah disebutkan di atas, Pasal 69 UU PDP juga mengatur pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian. Berikutnya, dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, menurut Pasal 70 UU PDP, dapat dijatuhi hukuman denda sebesar sepuluh kali lipat dari yang pidana asli yang disertai penjatuhan pidana tambahan tertentu lainnya.

 

Catatan atas Kedua Sanksi

A person standing in front of a screen

Description automatically generated

Managing Partner ATP Law Firm, Andriansyah Tiawarman K. Foto: istimewa.

 

Menurut Andriansyah Tiawarman K & Partners Law Firm, di balik sejumlah hal positif yang dapat ditemukan, bukan berarti UU PDP dapat dikatakan sebagai peraturan yang telah sempurna. Setidaknya terdapat sejumlah catatan yang perlu menjadi perhatian bersama, khususnya mengenai sanksi pidana dan sanksi administrasi yang terkandung di dalamnya.

 

Pertama, diperlukan optimalisasi dan kreativitas dalam merumuskan jenis-jenis sanksi administrasi. Ke depan, lembaga terkait perlu untuk menekankan kreativitas dalam pengenaan sanksi yang tidak hanya terbatas pada rumusan dalam UU PDP. Sanksi ini perlu didorong sebagai suatu primum remedium atau yang utama.

 

“Mengapa demikian? Sebab sanksi administrasi dapat lebih cepat diberikan tanpa menunggu putusan lembaga peradilan. Hal ini tentu menjadi instrumen positif untuk perlindungan data pribadi agar dapat mengantisipasi sedari dini dampak berkepanjangannya yang lebih luas,” kata Managing Partner ATP Law Firm, Andriansyah Tiawarman K.

 

Kedua, diharapkan untuk tidak menjadikan sanksi pidana sebagai primum remedium atas pelanggaran hukum pelindungan data pribadi. Penting untuk tetap menempatkan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Pasalnya, obyek pemidanaan dari UU ini tidak hanya menyasar pada perusahaan besar, tetapi juga mencakup setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat. Perlu untuk dicatat bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya masyarakat kolektif, yaitu konsep privatisasi yang masih longgar apabila dibandingkan dengan budaya masyarakat individualis seperti yang ada di Amerika Serikat. Oleh karena itu, jangan sampai kehadiran UU PDP justru mengarah pada ‘kriminalisasi’ warga negara, yang tidak sejalan dengan maksud pembentukannya sebagaimana yang pernah terjadi pada UU ITE.

 

Ketiga, di samping pengenaan sanksi, diperlukan berbagai langkah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya PDP. Hal tersebut disebabkan oleh keberagaman kapasitas pelaku pemrosesan data. Hal ini sejalan dengan hasil studi Yayasan Tifa yang menyebutkan, seharusnya UU PDP mempertimbangkan pendekatan yang bersifat edukatif, misal melalui konten-konten kreatif di iklan televisi, radio, dan media sosial guna meningkatkan kesadaran mengenai pelindungan data pribadi.

Tags:

Berita Terkait