Aliran Hukum Alam dan Tokoh-Tokoh Penting dalam Perkembangannya
Terbaru

Aliran Hukum Alam dan Tokoh-Tokoh Penting dalam Perkembangannya

Hukum alam merupakan salah satu aliran tertua dalam filsafat hukum. Dalam perkembangannya, hukum alam memiliki sejarah panjang dan tokoh-tokoh penting.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi hukum alam. Sumber: pexels.com
Ilustrasi hukum alam. Sumber: pexels.com

Apa itu hukum alam? Hukum alam adalah salah satu aliran dalam filsafat hukum. Dalam konteks hukum, hukum alam bukanlah upaya alam semesta dan isinya untuk berkembang dan bertahan.

Aliran ini merupakan aliran tertua dan sudah ada sejak ribuan tahun lalu, tepatnya di masa Yunani Kuno. Keteraturan alam memberikan inspirasi bagi para filsuf Yunani Kuno akan tujuan, sasaran, dan arah tertentu bagi adanya hukum. Berikut uraian lengkapnya.

Teori Hukum Alam

Murphy dan Coleman dalam Philosophy of Law mengungkapkan bahwa para filsuf Yunani Kuno melihat alam dan manusia di dalamnya memiliki tujuan, sasaran, dan arah tertentu. Pandangan ini disebut pandangan teleologi. Dalam bahasa Yunani, telos berarti ‘tujuan’.

Lebih lanjut, diterangkan Sinha dalam Jurisprudence Legal Philosophy, para filsuf di masa ini mulai mencari jawaban terhadap berbagai gejala kehidupan. Mereka tidak lagi menyandarkan semua hal pada konsep dewa dalam mitologi.

Para filsuf menggunakan nalar dan mulai mengesampingkan konsep pengaturan jagad raya oleh para dewa. Mereka mulai menerima adanya hukum alam untuk menjelaskan berbagai gejala.

Tokoh Aliran Hukum Alam

Telly Sumbu dkk. dalam Buku Ajar Filsafat Umum menerangkan bahwa jika ditilik berdasarkan tahap perkembangannya, hukum alam dapat diklasifikasikan atas hukum alam klasik, teologis, dan rasionalistis.

Pertama, teori klasik. Tokoh aliran hukum alam dibedakan menjadi dua kategori, yakni filsuf di era sebelum Socrates dan setelah era Socrates, termasuk Plato dan Aristoteles.

Di era sebelum Socrates, tokoh aliran hukum alam adalah Zeno dan para pengikutnya. Mereka dikenal dengan filsuf Stoa. Zeno percaya akan konsep panteisme yang berarti Tuhan adalah personifikasi dari total penjumlahan segala sesuatu. Dengan kata lain, keseluruhan alam semesta, makhluk hidup, dan benda adalah Tuhan.

Filsuf Stoa, yang mana merupakan pengikut Zeno, kemudian mengemukakan bahwa ada tatanan rasional dan memiliki maksud tertentu yang mengatur alam semesta. Tatanan ini disebut sebagai eternal law atau hukum abadi. Kemudian, cara untuk dapat hidup sesuai dengan tatanan hukum abadi inilah yang disebut dengan hukum alam.

Socrates, Plato, dan Aristoteles kemudian mengenalkan konsep natural justice atau keadilan alam. Aristoteles menjelaskan bahwa selain hukum khusus yang dibuat oleh manusia, ada suatu hukum umum yang sesuai dengan alam.

Terkait konsep Aristoteles, Kamarusdiana dalam Filsafat Hukum menerangkan bahwa Aristoteles menanggapi hukum alam sebagai suatu hukum yang berlaku dengan sendirinya. Hukum alam tersebut dibedakan dari hukum positif yang seluruhnya bergantung dari ketentuan atau penilaian manusia.

Kedua, teori teologis. Dalam konteks teologis, sosok paling berpengaruh atau tokoh aliran hukum adalah Thomas Aquinas. Masih menurut Telly Sumbu dkk., teori Aquinas mengintegrasikan teori hukum alam klasik ke ajaran gereja.

Lebih lanjut, Aquinas membedakan hukum atas empat hal, antara lain hukum abadi, hukum alam, hukum manusia, dan hukum sakral.

Hukum abadi dimaknai Aquinas sebagai ratio divinae sapientiae atau kebijakan ilahi yang mengarahkan semua tindakan dan gerakan manusia.

Kemudian, hukum alam atau lex naturalis berarti turut sertanya manusia sebagai makhluk berakal ke dalam hukum abadi. Manusia dan akalnya adalah ciptaan Tuhan sehingga dengan akal tersebut sedikit banyak dapat menangkap hukum abadi, meski tidak seluruhnya.

Lalu, hukum manusia yang merupakan lanjutan dari hukum alam dan akal manusia. Hukum alam merupakan asas-asas umum. Oleh karenanya, manusia memerlukan proses lebih lanjut untuk memahami masalah-masalah tertentu. Proses lebih lanjut inilah yang disebut hukum manusia.

Konsep hukum sakral dimaknai Aquinas sebagai hukum yang diwahyukan Tuhan dalam kitab suci. Keempat konsep hukum Aquinas tidaklah sama persis dengan kenyataan sehari hari.

Ketiga, teori hukum rasionalistis. Teori hukum alam ini diprakarsai oleh Hugo de Groot atau Grotius. Konsep rasionalistis Grotius merupakan pertentangan dari kata-kata hukum alam dari Aquinas.

Menurut Latipul Hayat, Grotius menganggap bahwa prinsip-prinsip hukum ini berasal dari akal intelektual manusia. Oleh karenanya, prinsip hukum alam tidak berkaitan dengan perintah Tuhan, pun Tuhan tidak dapat mengubahnya.

Tuhan berperan sebagai pencipta. Hubungannya dengan hukum alam hanya sebatas pencipta semata. Penjabaran hukum alam dengan akal hanya dapat dilakukan oleh manusia.

Ada dua prinsip pokok yang membentuk teori hukum alam Grotius. Pertama, bahwa secara a priori, hukum alam menguji segala sesuatu dengan parameter akal budi manusia. Kedua, secara a posteriori, hukum alam menguji penerimaan prinsip tersebut oleh bangsa-bangsa di dunia.

Aulia Rahmat dalam Undang: Jurnal Hukum menerangkan bahwa ide utama Grotius dapat diidentifikasikan dari pernyataannya dalam De Jure Belle ac Pacis. Grotius mengungkapkan bahwa hukum kodrat akan tetap hidup meski Tuhan tidak ada; etiamsi daermus non esse Deum.

Tags:

Berita Terkait