Ini 15 Putusan MK yang Dikabulkan Selama 2018
Berita

Ini 15 Putusan MK yang Dikabulkan Selama 2018

Mulai dari verifikasi parpol lama dan baru, larangan pengurus parpol menjadi anggota DPD, perjanjian internasional harus melibatkan DPR, perintah pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan bagi perempuan, hingga penegasan keberadaan KIP Aceh yang satu kesatuan Hierarki dengan KPU yang merujuk pada UU Pemerintahan Aceh.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

  1.  LPS Boleh Hapus Buku dan Piutang Bank Likuidasi Saat Krisis

Dalam Putusan MK No. 1/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 6 ayat (1), Pasal 81 ayat (3), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). Pasal-pasal itu mengatur wewenang pengelolaan kekayaan/aset yang dimiliki LPS yang dimohonkan Kepala Eksekutif LPS, Fauzi Ichzan.

 

Dalam putusannya, MK mengabulkan secara inkonstitusional bersyarat atas pengujian Pasal 6 ayat (1) UU LPS sepanjang tidak dimaknai termasuk dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (5) UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

 

Dengan putusan ini, berarti LPS berwenang menghapus buku dan hapus tagih aset piutang (tagihan utang) debitur bank ketika pengelolaan aset bank dalam likuidasi (sistemik maupun nonsistemik) terutama ketika dalam keadaan krisis dengan sejumlah persyaratan. (Baca Juga:  MK: LPS Boleh Hapus Buku dan Piutang Bank Likuidasi Saat Krisis)

 

  1.  Perintah Pengenaan Pajak Penerangan Listrik Harus Diatur UU Tersendiri

Melalui Putusan MK No. 80/PUU-XV/2017, tanggal 13 Desember 2018, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dimohonkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Misalnya, Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD, Mahkamah menilai meski aturan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, bukan berarti penggunaan tenaga listrik tidak dapat dikenai pajak. Mahkamah menegaskan penggunaan tenaga listrik baik dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh sumber lain, prinsipnya tetap dapat dikenai pajak atau tetap dapat dijadikan sebagai objek pajak.

 

Namun, pengenaan pajaknya harus diatur dalam UU dengan nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak menimbulkan kerancuan atau kebingunan bagi masyarakat terutama subjek pajak dan wajib pajak. Selain itu, pengunaan tenaga listrik dapat dikenai pajak tanpa membedakan asal atau sumber pasokan tenaga listrik tersebut, apakah dibangkitkan sendiri oleh pengguna atau dibangkitkan oleh pihak selain pengguna.

 

Terkait Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD, Mahkamah berpendapat pemahaman ketentuan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Pasal 52 ayat (1) jo Pasal 1 angka 28 seperti pertimbangan sebelumnya. Menurut MK, keberadaan ketiga ketentuan itu tergantung pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD terutama pada istilah “pajak penerangan jalan”. Sebab, Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD keberadaannya berkaitan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD, sehingga Mahkamah juga harus menyatakan Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD bertentangan dengan UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait