Menaker Beberkan Dampak Negatif Bila Upah Minimum Terlalu Tinggi
Utama

Menaker Beberkan Dampak Negatif Bila Upah Minimum Terlalu Tinggi

Menurunkan indeks daya saing Indonesia terkait kepastian hukum; terhambatnya potensi perluasan perluasan kesempatan kerja; terjadi substitusi tenaga kerja ke mesin; PHK; hingga mendorong tutupnya perusahaan akibat upah minimum terlalu tinggi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Untuk itu, kata Ida, formula penghitungan upah minimum sebagaimana diatur dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan untuk mengurangi kesenjangan upah minimum agar terwujud keadilan antar wilayah. Sebab, formula penghitungan upah minimum ini menggunakan pendekatan rata-rata konsumsi rumah tangga di masing-masing wilayah.

Bila penetapan upah minimum yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, menurut Ida akan berpotensi menurunkan indeks daya saing Indonesia terkait kepastian hukum; menurunkan kepercayaan investor terhadap sistem hukum di Indonesia; terhambatnya potensi perluasan perluasan kesempatan kerja; terjadi substitusi tenaga kerja ke mesin; pemutusan hubungan kerja (PHK); hingga mendorong tutupnya perusahaan.

Hal tersebut juga mendorong terjadinya relokasi industri dari daerah yang upah minimumnya tinggi ke daerah dengan upah minimum rendah. “Ini dampak yang berpotensi bisa terjadi akibat upah minimum yang terlalu tinggi,” bebernya.

Standar upah layak nasional

Sebelumnya, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti, mencatat formula penghitungan upah minimum yang diatur PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menghasilkan besaran upah minimum yang rendah. Besaran upah minimum bisa lebih tinggi jika menggunakan formula sebelumnya yang menggunakan survei kebutuhan hidup layak (KHL)

Dian melihat dalam menentukan upah minimum PP No.36 Tahun 2021 tidak menggunakan survei KHL yang dirundingkan di dewan pengupahan daerah. PP No.36 Tahun 2021 menetapkan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli; tingkat penyerapan tenaga kerja; dan median upah. Data pertumbuhan ekonomi, inflasi dan variabel tersebut bersumber dari BPS, sehingga lembaga tersebut berperan penting menentukan upah seolah menggantikan peran dewan pengupahan.

Dia mengatakan serikat buruh di berbagai kota sudah melakukan survei KHL dan menuntut besaran upah minimum 2022 sesuai KHL. Misalnya, aliansi buruh di Jawa tengah menuntut kenaikan upah minimum 16 persen. Tuntutan itu dilakukan karena selama ini tingkat upah minimum di Jawa Tengah sangat rendah. Kesenjangan upah antar daerah semakin menjauhkan kesejahteraan yang merata.

Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan membuat kondisi buruh semakin terpuruk. Sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan yang merata tanpa diskriminasi, Dian mengusulkan pemerintah untuk membentuk standar upah layak nasional.

“Standar upah layak nasional semestinya mengacu pada kebutuhan riil buruh dan keluarganya secara nasional, dimana kebutuhan fisik dan mental buruh serta keluarganya bisa terpenuhi, terlebih di masa pandemi. Bukan standar kebutuhan yang sebelumnya selalu dibatas-batasi oleh negara dengan standar paling minim, bahkan cenderung tidak manusiawi,” kata dia.

Untuk itu, FSBPI menuntut pemerintah sedikitnya melakukan 3 hal. Pertama, cabut PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan SE Menaker tentang Upah Minimum. Berlakukan kembali penghitungan upah minimum berdasarkan standar kebutuhan layak. Kedua, menaikan upah minimum sesuai standar kebutuhan hidup layak sebesar 15-30 persen di seluruh Indonesia. Ketiga, stop politik upah murah dan wujudkan upah layak nasional.

Tags:

Berita Terkait