Mencermati Definisi Restorative Justice di Beberapa Aturan
Utama

Mencermati Definisi Restorative Justice di Beberapa Aturan

Keadilan restoratif atau restorative justice adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan terdampak suatu tindak pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam praktik, tak semua perkara pidana berujung hukuman penjara. Hal ini disebabkan adanya konsep restorative justice (keadilan restoratif) sebagai mekanisme penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan prinsip keadilan. Penerapan konsep keadilan restoratif ini tak melulu berorientasi pada hukuman pidana, tapi mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Pengaturan keadilan restoratif selama ini diatur SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana; Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana; Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif; dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. 

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan menerangkan restorative justice adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan terdampak suatu tindak pidana. “Ini bukan sekedar pemulihan berbasis hak, tapi sesuai kebutuhan terhadap korban, pelaku dan lingkungan terdampak. Lingkungan itu bisa komunitas/masyarakat,” kata Agustinus Pohan dalam sebuah webinar, Sabtu (31/7/2021) lalu.

Agustinus menjelaskan setidaknya ada 3 konsep keadilan restoratif. Pertama, keadilan restoratif dipandang sebagai suatu proses penyelesaian persoalan yang ditimbulkan dari suatu kriminalitas dengan cara mempertemukan korban, pelaku, dan pemangku kepentingan lainnya dalam suatu forum informal yang demokratis untuk menemukan solusi yang positif.

Bila dilakukan dengan benar, cara ini diyakini akan mengubah perilaku pelaku, pencegahan, menyadarkan para pihak akan pentingnya norma yang telah dilanggar dan memungkinkan pemulihan kepada korban lewat restitusi. Kedua, keadilan restoratif dipandang sebagai konsepsi keadilan yang mengutamakan pemulihan terhadap kerugian daripada sekedar memberikan penderitaan (hukuman pidana, red) kepada pelakunya.

“Para pendukung konsep ini percaya ketika kejahatan terjadi, yang benar harus dilakukan membangun kembali hubungan yang benar.” (Baca Juga: Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif)

Ketiga, ada yang meyakini restorative justice sebagai way of life. Pendukung konsep ini memandang restorative justice tidak hanya perubahan pendekatan terhadap kejahatan, tapi harus lebih jauh lagi yaitu dalam rangka mencapai masyarakat yang adil.

Dalam SE Kapolri No.8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, mengatur prinsip keadilan restoratif tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator.

Untuk penyelesaian perkara, SE Kapolri ini menyebut, salah satunya dilakukan dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban, perlu dimintakan penetapan hakim melalui JPU untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban dan penuntut umum. Tapi pengertian keadilan restoratif dalam SE Kapolri itu diubah melalui Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019, di mana masyarakat tidak menjadi bagian dalam penyelesaian kasus.

Definisi keadilan restoratif sebagaimana diatur Perkap No.6 Tahun 2019 yakni penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait dengan tujuan agar tercipta keadilan bagi seluruh pihak. Perkap No.6 Tahun 2019 fokus pada pemulihan korban, tapi tidak untuk pemulihan pelaku serta tidak ada penekanan pemulihan relasi korban dan pelaku. Targetnya tercapai perdamaian, terlepas dari substansinya.

“Aturan itu hanya mengurangi beban kerja, tapi tidak memulihkan relasi antara korban, pelaku, dan masyarakat.”

Aturan lain yang mengadopsi keadilan restoratif yakni Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan ini mendefinisikan keadilan restorative, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tapi ada tindak pidana yang dikecualikan dari penerapan keadilan restoratif, seperti narkotika.

Peraturan Kejaksaan itu hampir sama seperti Perkap No.6 Tahun 2019 yang fokus pada pemulihan korban, tidak ada penekanan pada pemulihan relasi korban dengan pelaku serta targetnya tercapai perdamaian terlepas dari substansinya. Untuk itu, Agustinus menilai penerapan keadilan restoratif di Indonesia perlu dituangkan dalam bentuk UU. “Bisa juga dimasukan dalam revisi KUHP,” usulnya.

Sedangkan di pengadilan, mengacu pada Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) pada 22 Desember 2020 lalu. Beleid yang diteken Dirjen Badilum MA Prim Haryadi ini mengatur penerapan keadilan restoratif hanya dalam lingkup perkara tindak pidana ringan, perkara anak, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan perkara narkotika.

“Memerintahkan kepada seluruh hakim pengadilan negeri untuk melaksanakan pedoman penerapan keadilan restoratif secara tertib dan bertanggung jawab. Ketua Pengadilan Tinggi wajib melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi, serta melaporkan pelaksanaan keadilan restoratif di wilayah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan,” demikian bunyi poin kedua dan ketiga Keputusan Dirjen Badilum MA No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 ini.

Dalam lampiran Keputusan ini disebutkan keadilan restoratif, dalam penyelesaian perkara dapat dijadikan instrumen pemulihan keadilan dan sudah dilaksanakan oleh MA dalam bentuk pemberlakuan kebijakan (Perma dan SEMA). Tapi, selama ini pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana masih belum optimal.

Perma dan dan SEMA yang dimaksud yakni Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP; Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak; Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum; SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial; SE Ketua MA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. 

Selain itu, Surat Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, Menkumham, Menteri Sosial, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 166A/KMA/SKB/X11/2009, 148 A/A/JA/12/2009, B/45/X11/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Nota Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif.

Peraturan Bersama Ketua MA, Menkumham, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Lampiran Keputusan ini mendefinisikan keadilan restoratif, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (hukuman penjara). Maksud pedoman petunjuk teknis ini untuk mengoptimalkan penerapan Perma, SEMA, ataupun Keputusan Ketua MA yang mengatur pelaksanaan keadilan restoratif di pengadilan.

“Penerapan keadilan restoratif juga untuk mereformasi criminal justice system yang masih mengedepankan hukuman penjara dalam putusan majelis/hakim. Pedoman ini wajib dipedomani seluruh pengadilan negeri di Indonesia,” demikian bunyi Lampiran Keputusan Dirjen Badilum MA ini. 

Ketua Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri, mengatakan setidaknya ada 3 jenis kejahatan yang tidak direkomendasikan untuk menggunakan mekanisme keadilan restoratif. Pertama, pelanggaran HAM atau kejahatan yang dilakukan oleh negara. Misalnya, pejabat menerbitkan kebijakan yang membuat hak warga negara terabaikan, ini bentuk kegagalan pemerintah melindungi masyarakat.

“Jika menggunakan keadilan restoratif, maka akan mengabaikan perlindungan terhadap individu dan harkat martabat manusia,” kata Ni Made Martini beberapa waktu lalu. 

Kedua, kejahatan yang pelakunya orang terhormat atau white collar crime. Martini berpendapat kejahatan kerah putih memiliki kekuasaan dan kejahatannya relatif sulit dibuktikan. Ketiga, kejahatan dimana pelakunya tidak memiliki rasa malu atau bersalah, dan malah merasa dirinya bermoral.

Misalnya kasus korupsi, pelakunya kerap membangun citra bahwa dirinya sebagai orang bermoral. Hal ini juga bisa membuat bingung orang awam dan bahkan dapat mengaburkan pandangan hakim. Apalagi jika ini kejahatan yang pertama kali dilakukan yang bersangkutan. “Restorative justice harus dilaksanakan secara selektif, menggunakan kriteria dan petunjuk pelaksanaan serta evaluasi berbasis bukti dan data,” saran Martini. 

Tags:

Berita Terkait