Organisasi Disabilitas Sasaran Empuk Pelaku Penggelapan dan Korupsi
Terbaru

Organisasi Disabilitas Sasaran Empuk Pelaku Penggelapan dan Korupsi

Untuk menghilangkan praktik korupsi dalam organisasi harus ada pendidikan yang mendalam dan berulang mengenai penggelapan dan korupsi.

Oleh:
CR-27
Bacaan 4 Menit
Acara diskusi during bertema Korupsi dan Difabel. Foto: CR-27
Acara diskusi during bertema Korupsi dan Difabel. Foto: CR-27

Selain perempuan dan anak-anak, penyandang disabilitas merupakan korban terdampak dari korupsi, sehingga perlu partisipasi untuk selalu mendukung upaya-upaya yang memiliki peran penting yang berhubungan dengan dana bantuan bagi penyandang disabilitas. Organisasi dan komunitas penyandang disabilitas hadir guna menjadi kendaraan untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.

Namun sayangnya, banyak organisasi disabilitas tersebut digunakan sebagai kendaraan untuk menguntungkan bagi segelintir kelompok atau individu-individu tertentu. Aktivis pergerakan disabilitas, Blindman Jack, mengungkapkan kekecewaannya terhadap organisasi-organisasi serta komunitas penyandang disabilitas yang masih menjadi sasaran empuk bagi pelaku-pelaku yang tidak bertanggung jawab untuk menguntungkan diri dan kelompoknya.

“Di sisi lain terkadang apa yang para penyandang disabilitas lakukan itu dipergunakan dengan tidak semestinya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan secara tidak langsung para penyandang disabilitas tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan tersebut merupakan kesalahan yang seringkali mengenai penggelapan dan korupsi,” katanya dalam diskusi daring bertema Korupsi dan Difabel, beberapa waktu lalu.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, menyatakan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental. (Baca Juga: 3 Masalah Industri Sawit; Korupsi, Penghindaran Pajak dan Manipulasi Data Perdagangan)

Pandangan yang melekat terhadap kaum difabel di mata masyarakat di kehidupan sehari-hari adalah sebagai kaum yang masih dimarjinalkan secara struktural dan kultural, dalam artian telah terjadi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Adanya perbedaan perlakuan ini membuat organisasi disabilitas turut menjadi salah satu bagian yang rentan terhadap korupsi dan penggelapan karena organisasi disabilitas banyak yang masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain dalam pengelolaannya.

“Pihak-pihak yang dianggap donatur, baik dari pemerintah maupun swasta, pengurus organisasi penyandang disabilitas yang tidak mempunyai pengertian mendalam tentang praktik penggelapan dan korupsi serta tidak adanya SOP dalam organisasi dan akuntabilitas yang tidak dijaga sebagai aset organisasi menjadi hal-hal yang rentan, sehingga terjadi penggelapan dan korupsi yang terjadi di badan organisasi disabilitas,” jelasnya.

Untuk menghilangkan praktik korupsi dalam organisasi harus ada pendidikan yang mendalam dan berulang mengenai penggelapan dan korupsi. Ia menyarankan untuk setiap organisasi penyandang disabilitas harus memiliki SOP keuangan, memiliki sarana pengaduan, adanya tindak lanjut pemrosesan termasuk whistleblower terkait pengaduan, serta adanya pendidikan mengenai keuangan digital dan pendampingan yang intensif dari mitra dalam penerapan praktik administrasi dan keuangan organisasi.

Di mata masyarakat, organisasi disabilitas masih menjadi stereotip sebagai organisasi yang lemah dan orang dengan disabilitas adalah orang-orang yang lemah, sehingga ini mendorong adanya penggelapan dan korupsi di organisasi. Banyak pihak-pihak yang menggunakan keberadaan organisasi ini untuk keuntungan sendiri seperti pencucian uang, memperkaya kelompok tertentu karena pengurus seringkali berpikir untuk selalu mengikuti kemauan donator selama pemasukan untuk organisasi berjalan lancar.

Dewan pengurus Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Joni Yulianto, menyebutkan bahwa kerentanan di dalam organisasi penyandang disabilitas ini menyebabkan rendahnya akses, partisipasi dan kontrol.

Menurutnya, difabel terikat erat dengan kemiskinan, di mana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan disabilitas dekat dengan kemiskinan. “Saat ini ukuran kemiskinan kita dilihat dari kepemilikan harta, sedangkan saat kita membicarakan difabel maka di sana ada extra cost karena ia harus membayar hal lebih untuk beberapa hal seperti transportasi dan kebutuhan terapi,” ujarnya.

Survey SIGAB mengenai dampak Covid-19 bagi difabel pada tahun 2020-2021 menyatakan bahwa program bantuan sosial hanya menyasar sebanyak 40%-50% difabel dengan kategori miskin.

Kaum difabel yang diposisikan sebagai subjek belas kasihan, menjadikan perilaku koruptif terhadap difabel sering terjadi. Koruptif kemudian tidak hanya dari sisi finansial, bahkan institusi yang seharusnya memberdayakan penyandang disabilitas akhirnya tumbuh dan berkembang tidak memberikan hak penyandang disabilitas sehingga hal itu dianggap sebagai kelaziman.

“Inilah yang kemudian sangat sulit memperkenalkan praktik korupsi sebagai sebuah pelanggaran dan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai. Korupsi ini kemudian menjadi budaya, makanya tidak heran kalau di organisasi penyandang disabilitas ada fenomena seperti ini. Hal ini terjadi karena adanya siklus yang membuatnya terbentuk dan ini harus diurai dan dihentikan,” tegasnya.

Joni juga menjabarkan beberapa hal spesifik terkait bantuan difabel dan upaya dalam melindungi difabel untuk meminimalkan ruang-ruang korupsi.

“Jalur bantuan distribusi untuk penyandang disabilitas perlu dipangkas untuk tujuan memperkuat akses dan kontrol difabel serta meminimalkan ketergantungan penyandang disabilitas terhadap pihak ketiga. Penyandang disabilitas bisa memanfaatkan teknologi seperti uang elektronik sehingga penyandang disabilitas mempunyai akses langsung serta punya kontrol langsung terhadap bantuan-bantuan yang diterimanya,” jelasnya.

Perlunya edukasi mengenai korupsi dan praktiknya dalam bantuan sosial dan pelayanan publik, serta harus adanya sistem pengaduan yang terbuka, aman, aksesibel dan dekat dengan penyandang disabilitas bisa menjadi langkah awal dalam penghalang perilaku koruptif.

“Bantuan yang menjadi objek untuk dikorupsi menjadi penting untuk lebih diperhatikan, serta harus adanya perubahan orientasi dalam pemberian bantuan sosial kepada penyandang disabilitas, bentuk-bentuk bantuan terhadap penyandang disabilitas tersebut harus berorientasi pada peningkatan terhadap akses, partisipasi dan kontrol,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait