Pahami 3 Pasal Ini Sebelum Bermedia Sosial
Utama

Pahami 3 Pasal Ini Sebelum Bermedia Sosial

Jika melanggar ketiga pasal itu ancamannya pidana penjara dan/atau denda.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Narasumber diskusi daring Government Social Media Summit 2021 bertema 'Pentingnya Hak Cipta dan Etika Hukum Bermedia Sosial Bagi Instansi Pemerintah', Kamis (25/11/2021). Foto: ADI
Narasumber diskusi daring Government Social Media Summit 2021 bertema 'Pentingnya Hak Cipta dan Etika Hukum Bermedia Sosial Bagi Instansi Pemerintah', Kamis (25/11/2021). Foto: ADI

Perkembangan teknologi mendorong masifnya penggunaan media sosial (medsos) oleh masyarakat. Tapi, ada sejumlah hal yang penting untuk dicermati sebelum menggunakan media sosial. Legal research & Analysis Manager Hukumonline, Christina Desy mengingatkan ada 3 pasal UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi terakhir melalui UU No.19 Tahun 2016 (UU ITE) yang penting untuk diperhatikan pengguna media sosial.

Pertama, Pasal 27 UU ITE yang memuat 4 ayat. Pasal 27 ayat (1) melarang orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Mengacu Keputusan Bersama, Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri Tahun 2021 tentang Pedoman implementasi UU ITE, Desy menyebut tidak semua pornografi atau ketelanjangan itu melanggar kesusilaan sebagaimana ketentuan tersebut. Karena harus dilihat konteks sosial budaya dan tujuan muatan itu. Misalnya, dalam pendidikan kedokteran tentang anatomi tubuh manusia.

Pasal 27 ayat (2) UU ITE, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Konten yang diunggah dalam medsos tidak boleh secara sengaja memuat perjudian. Jika terbukti ada kesengajaan dalam mengunggah konten bermuatan berjudian maka dapat dikenakan ketentuan tersebut.

“Konten perjudian itu bisa dalam bentuk informasi iklan, situs, video, gambar atau tautan,” kata Desy dalam kegiatan diskusi secara daring Government Social Media Summit 2021 bertema “Pentingnya Hak Cipta dan Etika Hukum Bermedia Sosial Bagi Instansi Pemerintah”, Kamis (25/11/2021).

Pasal 27 ayat (3) UU ITE, melarang orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Desy menjelaskan konten berupa ejekan, cacian, dan atau kata-kata tidak pantas tidak masuk dalam konteks pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Jika ejekan, cacian, dan kata tidak pantas itu mau diproses hukum, maka yang digunakan bukan UU ITE, tapi Pasal 315 KUHP. Penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan juga tidak bisa dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE,” jelasnya.  

Pasal 27 ayat (4) UU ITE, melarang setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Desy menerangkan dalam melakukan perbuatan pemerasan dan/atau pengancaman, harus dibuktikan adanya motif keuntungan ekonomis yang dilakukan oleh pelaku.

Pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1), (2), dan (4) UU ITE diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 juta. Pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE diancam pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Kedua, Pasal 28 UU ITE. Pasal 28 ayat (1) UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Desy berpendapat ketentuan ini harus dicermati lebih lanjut karena ini bukan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoaks) secara umum, melainkan perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Tapi penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju, atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA.

“Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU ITE diancam dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.”

Ketiga, Pasal 29 UU ITE, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Desy menyebut ancaman yang dimaksud jika ada pernyataan atau niat untuk mencelakakan korban dan sifatnya mencelakakan fisik maupun psikis. Dampak ketakutan itu harus dibuktikan secara nyata, antara lain adanya perubahan perilaku. Bagi yang melanggar Pasal 29 UU ITE ini diancam pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

“Kalau konten tidak melanggar UU ITE, maka penguna sosmed yang bersangkutan bisa bernafas lega. Maka tips nya harus di cek ulang ketentuan UU ITE dan pedoman pelaksanannya, minimal untuk 3 pasal tersebut,” sarannya.

Legal Analyst Hukumonline, Aldeenea Christabel, mengingatkan pengguna medsos juga harus memperhatikan ketentuan terkait hak kekayaan intelektual (HaKI) ketika mengunggah konten. HaKI jenisnya beragam seperti hak cipta, paten, merek dan lainnya. “HaKI yang paling berkaitan dengan sosmed yakni hak cipta,” ujarnya.

Aldeenea menjelaskan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra. Misalnya, lagu dan/atau musik, lukisan, gambar, kolase, dan karya fotografi.

Tapi, hak cipta itu tidak berlaku untuk karya berupa hasil rapat terbuka lembaga negara; peraturan perundang-undangan; pidato kenegaraan atau pejabat pemerintah; putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan kitab suci atau simbol keagamaan. “Pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan oleh pihak lain menimbulkan hak bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan royalti. Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak cipta dapat dipidana,” katanya.

Tags:

Berita Terkait